KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI
Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran
dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan
pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai
latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui
penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep
pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami
dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga
bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat
mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan
keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita.
Dengan diterapkannya konsep dan strategi pendidikan
multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan
ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya
perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa,
kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat
diminimalkan.
Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Tantangan Global dan
Pluralisme.
I.
Pendahuluan
Indonesia
adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia,
kebenaran
dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang
begitu
beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang
lebih
13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta
jiwa,terdiri
dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.
Selain
itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,
Katholik,
Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam
kepercayaan
(Diknas: 2004).
Keragaman
ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam
persoalan
seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,
nepotisme,
premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan
lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai
hak-hak
orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit
terjadinya
tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada
tahun
1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara
islam
Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.
Berdasarkan
permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme
menawarkan
satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan
berbasis
pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada
siswa
seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,
kemampuan
umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan
pendidikan
relatif baru di dalam dunia pendidikan.
Sebelum
perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal.
Malah
pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan
yang
memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu.
Dengan
kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan
umat
manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan
pendidikan
yang sama untuk semua orang. Dalam penerapan strategi dan konsep
pendidikan
multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan
agar
supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan
menigkatkan
kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan
demokratis.
Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra
professional
tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari
pendidikan
multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme.
Wacana
pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan
di
era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang
tranformasi
budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural,
bukan
monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta
memebongkar
praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana
yang
masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan
hingga
saat ini.
Dalam
konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan
progresif,
pebendekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan
yang
termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun
2003
pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak
asai
manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan
multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan
persamaan
hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh
membeda-beda
etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan
adalah
ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan
multikultural
hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam
terhadap
ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan
diantara
manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn.
Wajah
monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila
kita
tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi
pelajaran,
hingga
metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar
mengajar
(PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad
ke-20
sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh
pendekatan
keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang
ketat,
bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri
akan
pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu
di
implementasikan (Tilaar:2004: 24).
Pendidikan
multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi
model
yang ada, agar seperti yang diajukan Groski (1990), “pendidikan
multicultural
dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri,
tranformasi
sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat”.
Dengan
menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta
mengimplementasikanya
yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan
menghargai
pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi
penerus
menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu
menegakan
nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
II.
Konsep Pendidikan Multikultural
A.
Pengertian pendidikan Multikultural
Indonesia
adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di
dunia,
kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural
maupun
geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk
salah
satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang,
menjadikan
pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya
membangun
jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan
menjanjikan
pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk
membangun
bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan
dengan
hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui
penerapan
strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman
yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur
dan
ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama,
pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak
bangsa
Indonesia
ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka
gotong
royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa
dapat
dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya
berbagai
suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Misalnya
etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya.
Semua
suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku
asli
negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua,
suku
dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di
antara
suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian
besar
dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses
inilah
yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan
multikultural
ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik,
ekonomi,
dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua,
pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam
mengatasi
berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan
multikultural,
adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai,
keyakinan,
heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam
masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan
semua
manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama,
berintelektual
sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga,
pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi
bisnis.
Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi
berlomba-lomba
menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang
mampu
menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan
kualitas
pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa
pendidikan
yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan
keterampilan
belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis
kecerdasan.yang
sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple
intelligence).
Keempat,
pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang
mengarah
pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran
kedamaian
sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari
akumulasinya
berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas
dan
saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah
prasyarat
bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan
munculnya
kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku,
agama,
atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,
ekonomi,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan
direnungkan
ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan
mengembangkan
model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu
mengakomodir
sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,
dan
saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian,
kesejahteraan,
kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
(Tilaar:
2004: 67).
Dengan
demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap
perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi
setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan
pengembangan
kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan,
sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
(Ainurrafiq:
2003:24).
Pada
konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan
multikultural
semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter
militeristik
orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya
membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya
kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu
menerapkan
paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat
primordialisme.(Yaqin:
2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan
multikultural
dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki
apresiasi
respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka
penerapan
multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal
untuk
saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut
semangat
kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi
salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan
nasional.
Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis,
tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam
sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran
yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes
politik,
sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
(Jamaluddin:
2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan
multikultural
memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang
lain”,
yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan
berbagai budaya
dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
dalam
mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction
process,
yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah
mata
pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan
metode
pengajaran
dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik
siswa
yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. Keempat,
prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode
pengajaran mereka.
Menurut
Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya
mempunyai
cirri-ciri sebagai berikut:
1.
Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat
berbudaya
(berperadaban)”.
2.
Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan
nilai-nilai
kelompok etnis (cultural).
3.
Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman
budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4.
Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik
yang
meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam
konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural
adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati
terhadap
penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari
strategi
pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah
memahami
pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran
mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar:
2005:
88).
B.
Kondisi Masyarakat
Ada
pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah
bangsa
yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri
dari
masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat
yang
relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup.
Kehidupan
masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik
moral
etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat
tradisional
baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan,
semuanya
diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal
sampai
kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya.
Di
dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat
terbatas,
dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat
lambat.
Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan
yang
tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya
masyarakat
industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah
gelombang
modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000).
Gelombang
modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat
barat
yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri
yang
menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut
terjadi
didalam ruang lingkup negara dan bangsa.
Gelombang
modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun
dengan
demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang
dinikmati
oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahanperubahan
sosial
yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi
gelombang
kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat
penuh
resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).
Menurut
Ulrich Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan
menimpa
masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi
gender,
pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis
moneter
seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004).
Dalam
perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan
yang
tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang
dapat
mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang
menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk
kemaslahatan
masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.
Seiring
dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep
masyarakat
individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak
dapat
digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang
dahsyat
didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut
hak-hak
politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan
untuk
membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut
demokrasi
cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam
masyarakat
tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia
didalam
membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang
dikenal
didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).
C.
Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan
Telah
kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern,
antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
masyarakat
barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan
telah
melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan
kekuasaan
Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
menyebabkan
penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan
negara-negara
industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan
tuntutan
terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negaranegara
maju
dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negaranegara
tersebut
telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny:
2005:234).
Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang
memaksa
untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya.
Rakyat
diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari
kungkungan
kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan
benih-benih
nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan
kolonialisme
itu sendiri.
Kemajuan
pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari
perkembangan
demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi
pencerahan
kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan
bersama-sama
dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam
pembukaan
undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama
kemerdekaan
ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan
bangsa
antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan.
(Firdaus:2005:129).
Di
dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme,
melainkan
peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat
perkembangan
masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga
merupakan
dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelaskelas
didalam
masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa
yang
dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hakhak
yang
diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga
diri,
kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.
(Zubaedi:2005:10).
Salah
satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah
perkembangan
masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis
ilmu
pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB
menganggap
program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam
pengembangan
manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang
besar
bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi “ pembunuh”
pengembangan
manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan
menghidupi
masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks
inilah
dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam
masyarakat
industri masa depan.
III.
Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas
Pendidikan
dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocalrelayionship).
Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan
guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat
multikultural
dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk
mensukseskan
fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi,
langsung
atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.(Choerul:
2006:
76).
Penguatan
terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan
mengefektifkan
kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun
masyarakat
multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural,
yaitu
dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah
keberhasilan
fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya
penguatan
pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik
dari
sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam
konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan
meningkatkan
mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
dengan
negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai
perpedaan
diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki
latar
belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa
dan
bernegara.
Adapun
perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan
semangat
kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini
karakter
kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang
pernah
dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya.
Sedangakan
semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap
komponen
masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat seperti itu akan
berkembang,
baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan
kesatuan
bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18
Januari
2007).
Multikulturalisme
merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam
khasanah
ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan
demikian
multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang
dihadapi
oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era
demokritisai
kehidupan. (Tilaar: 2004:16).
Pendidikan
merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia,
negara,
maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu
ditumbuhkembangkan
secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwenang
di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus
diupayakan
agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang
signifikan
dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah
diamanatkan
oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP:
2005:17),
dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial
dan
kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan,
maka
pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang
akan
dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.
Peran
pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti
didalam
kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti
disiplin-disiplin
ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah
posmoderenisme,
antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar
dalam
perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu
bahkan
berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.
Oreintasi
yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
Pertama,
Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah
nilai
kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian
besifat
universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
Kedua,
Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme
merupakan
sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan
heterogen.
Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang
tidak
ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah
kebersamaan
yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif.
Kebersamaan
yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak
merasa
dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
Ketiga,
Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan
suatu
kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini
hanya
dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi
tidak
pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah
orientasi
harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan
masyarakat.
Keempat,
Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang
dipandang
dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat
pelaku,
tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif,
dan
tepat
tujuan.
Kelima,
Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan
heterogenitas
merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara
fasis
dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang
diyakini
oleh orang banyak.
Keenam,
Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan
dominasi
hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas.
Hanya
saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari
jauh-jauh
oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.
Karena
hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan
terhadap
masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan
demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah
teknis
pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta
pengembangan
yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa
pemikiran
“ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir
pada
situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “
pribumi”
bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi
barat
dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam
kebijakan
dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis
course
bagi visi pendidikan penguasa.
Dalam
alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan
berpendapat
praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam
reformasi
tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan
kepentingan.
Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu
terlibas
dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan
pendidikan
melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).
Multikulturalisme
adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia.
Indonesia
adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik
dan
agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang
mengacu
kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta
relasi
yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha
“politik”
kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan
kritik.
Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat
khususnya
bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing
berseteru
ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini:
2004:21).
A.
Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional
Setelah
kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta
praktik
pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan
pendidikan
multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep
pendidikan
multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai
dengan
kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air.
Pendidikan
multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan
(Benni:2006)
:
1.
“Right to Culture” dan identitas budaya lokal.
Multikulturalisme
meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak
asasi
manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga
kepada
hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture).
Lahirnya
identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia,
memang
semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya
rasa
kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena
apa
yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi
kita
semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang
menjadi
memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses
yang
tanpa ujung.
2.
Kebudayaan indonesia yang menjadi.
Kebudayaan
indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap
insan
dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan
suatu
sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang
mana
perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional.
Oleh
sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus
ditekankan
sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke
indonesiaan.
Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan
paradigm
shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu
paradigma
baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan
bagaimana
sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan
pengembangan
konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia
yang
didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di
indonesia.
3.
Konsep pendidikan multikultural yang normatif.
Kita
tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang
deskriftif
yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku
bangsa
di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga
harus
mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu
negara-bangsa.
Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah
konsep
yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk
mewujudkan
semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural
normatif
sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budayabudaya
lokal.
Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus
mampu
memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat
menyumbangkan
bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki
oleh
seluruh bangsa indonesia.
4.
Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu
rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai
kehidupan
sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat
berkembangnya
rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun
suatu
suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang
berlebihan.
Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal
yang
tidak dikenal sebelumnya.
5.
Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas
kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural
didalam
masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya
masyarakat
indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita
gunakan
lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam
ruangan
sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan
kehidupan
sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of
hert)
yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang
pluralistiks.
6.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa
depan
serta etika berbangsa.
TAP/MPR
RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia
masa
depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang
sangat
berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam
hal
ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti
terutama
ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah
ditangani
dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003).
B.
Pendidikan Nasional
Pendidikan
merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan
dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar
berkualitas.
Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam
pembukaan
UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan
NKRI
bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah
benar-benar
selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang
dewasa
ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan
sebasgai
wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan.
Mengingat
rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis,
maka
rumusan tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat
dikategorikan
sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus
1945
telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sesbagai
penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari
empat
tujuan negara yang harus diusahakan atau diimplementasikan secara
operasional
dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan.
Jika
“mencerdaskan kehidupan bangsa” disepakati sebagai konsensus
nasional
sebagai tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional
tujuan
itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional
yang
akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh
para
penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan,
program,
dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang
siapa
yang berhak merumuskan tujuan pendidikan menjadi agak jelas. Majelis
Permusyawaratan
Rakyat (MPR) merumuskan filsafat pendidikan nasional,
sedangkan
tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak
pelaksana
(eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan
Perwakian
Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut
Undang-Undang
tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007).
Dengan
demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan
agenda
esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21
yang
dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa
depan
anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan
mereka
untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai
unggulan
kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap
percaturan
dunia yang semakin global.
Saat
ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat
strategis,
yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari
program
itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro
cukup
menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki
kompetitif.
Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan,
kita
harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus
menerus.
Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan
berhasil
menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan
aspek
relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi,
kita
juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan.
Penyelenggara
pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar
dalam
menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai
pertimbangan
menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga
dalam
penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat
menghadapi
tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan
menyejahterakan
umat manusia.
Sistem
pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk
mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia
Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”. Maka
menurut
fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah
untuk:
1.
mengembangkan kemampuan manusia Indonesia,
2.
meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia,
3.
meningkatkan martabat manusia Indonesia,
4.
mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia
oleh
karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia
sehingga
manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan
diri,
meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka
mencapai
tujuan nasional. (UUSPN: 2003).
Upaya
pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan
masyarakat
madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung
tingggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis,
bertanggung
jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek
dan
seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem
kehidupan
nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan
subsistem
dari pembangunan nasional.
IV.
Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Di Indonesia
Wacana
pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass
media
dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak
diikuti
dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk
mempormulasikannya
kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat
dikatakan,
upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian
dari
upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah
paham
soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebagai
implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan
kekakuan
pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan
budaya
belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari
segi
materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan
masyarakat
umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan
agama
secara parsial (kulitnya saja).
Materi
pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi
masalah
keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga
atau
kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja.
Sebaliknya
pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap
antikorupsi,
wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama.
(Suharto:
2006:276).
Saat
ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan
upaya
internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras,
suku,
adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya,
kondisi
situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis
dan
agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat
dikatakan
serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus
pekalongan
(1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo,
Kalimantan
Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit,
Kalimantan
Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif
secara
dini, untuk itu menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan
bagian
dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik
bernuansa
SARA.
Menurut
Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma
pendidikan
multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan,
kemiskinan,
penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai
bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural
yang
mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa
dapat
masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin,
kaya,
priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari
memastikan
bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai
latar
belakang.
Menurut
Franz Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh
bngsa
Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan
horizontal,
menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan
masyarakat
bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah
pemuda
tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia.
Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama
dibawah
payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala
separatisme
untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan
ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain
dengan
meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu
mementingkan
budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan
terhadap
ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu
tujuan
yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk
seluruh
masyarakat. ( Choerul: 2005).
Menurut
Azumardi azra pada level nasional, berakhirnya sentralisme
kekuasaan
yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris
seragam,
memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada
rekonstruksi
kebudayaan Indonesia yang multikultural.” Berbarengan dengan
otonomisasi
dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan
fenomena
atau gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan
“etnisitas.”
Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan
tidak
hanya
disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
(Ali:
2002:3)
A.
Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai
adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika,
Eropa
dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha
mendominir
dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang
berlangsung
panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu
beberapa
tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi
baru
dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005).
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka
dunia
pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi
pada
semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan
pendidikan
yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh
pemerintah
daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum
pendidikan,
sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan
formal,
baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk
badan
hukum pendidikan (pasal 53 ayat1).
Badan
hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan
kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum
pendidikan
akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara
pendidikan
dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam
menghadapi
persaingan global.
Dalam
menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan
ditentukan
oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan
yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat
yang
dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).
Kemajuan
komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak
terhadap
pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya
gambar-gambarfornografi
diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi
informasi
itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang
diamana
di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain
berimplikasi
kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai
budaya
luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun
dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi
komunikasi,
maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai
paradigma
baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan
pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi
pelayanan
pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
pendidikan
secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).
Menurut
Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya
liberalisasi
ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan
dunia
pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi
membuat
dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga
dunia
untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang
demikian
mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain
sehingga
sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide
atau
gagasan. (Sumartana: 2001:5).
Dalam
perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubahaperubahan
yang
boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya
memenuhi
target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di
tengah-tengah
masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk
mencerdaskan
kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri,
sosial,
negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini
sangat
relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana
pendidikan
ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras,
agama,
status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung
pada
babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional
adalah
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6).
Ada
beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas.
Setidaknya
hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit,
pendidikan
berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan
rohani
para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai
pengembangan
pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan
dan
pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat
penting
sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang
inklusif
bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi
sebagaimana
yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai
investasi
jangka panjang.
Menurut
Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya
manusia
(SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan
industri
dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah
menempatkan
pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai
dari
yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi
mengejar
uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.
(Malik:
1999:34).
B.
UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural
Pameo
masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang
mengatakan,
ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya
mengandung
kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya
adalah
berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume
kurikulum
muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau
mengenai
prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu
umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi
kurikulum
yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah
(Scool
Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based
Competence),
dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan
aturan-aturan
lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen,
karakteristik
kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang
dikeluarkan
tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan
sistem
pendidikan yang lebih baik.
Lebih
lanjut Suyanto (2002), menyatakan UU Sisdiknas 2003, misalnya,
adalah
salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari
proses
pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan
terbelah
antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup
banyak,
tidak saja dipusat (Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia
seperti
Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar,
dan
Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan
sekolahsekolah
berdemontrasi
berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha
memperjuangkan
aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai
dengan
visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan
mayarakat
khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa
yang
seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka
akan
tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama
Islam
cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung
tidak
setuju.
V.
Penutup
Krisis
multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan
bagian
dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur
yang
ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan
yang
dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita
dapat
saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.
Namun
disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya,
keragaman
itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat
mengakibatkan
adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok
terhadap
kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak
adilan,
dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi
hiangga
hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang,
kekerasan
dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak,
pengesampingan
hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya
lokal,,kekerasan
antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari
problematika
kultural yang ada.
Agar
tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan
adanya
peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan
para
pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami
konsep
dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung
dalam
strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi,
humanisme,
dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan
para
siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung
jawab
agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata
pelajaran
yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan
nilai-nilai
kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme.
Harapan
dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat
dasar
hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas
yang
tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan
psikomotorik
(keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang
demokratis,
humanis, pluralis dan adil.
Bangunan
Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru
adalah
sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puingpuing
tatanan
kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural
society).
Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan
lagi
keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada
dalam
masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang
multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan
perbedaan
dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan.
Oleh
karena itu gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan
konsep
multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah:
1.
Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial.
Spektrum
kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi
dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,
bukan
sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung
jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus
budaya
luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai
budaya.
2.
pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari
akar
budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan
multikultural
juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut
dari
akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas
sosial
dan budaya di era globalisasi.
3.
sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam
melakukan
pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar
mengajar,
atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus
dikuasai
siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan
multikultural
sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat
penting.
4.
menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untuk
membangun
Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali
dari
hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun
oleh
orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah
masyarakat
sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi
keadilan,
pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman
dalam
kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
madsyarakat,
dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Ainul, Yaqin. Pendidikan
Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Arifin, Thoha,
Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.
Batubara,
Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.
Cahyono, Imam“Mandeknya
Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.
Dawam,
Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.
………, Pendidikan
Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.
Fadjar, Malik. Holistika
Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
………, Platform
Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Idris,
Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah
Sa’adah, 2005.
Imron, Ali. Kebijaksanaan
Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Kartono,
Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Mahfud Choerul.
Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Setiawan,
Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Sumartana. Pluralisme,
Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta:
pustaka
Pelajar, 2001.
Suharto, Toto. Filsafat
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.
Standar
nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
pendidikan
asional, Surabaya: Media Centre, 2005.
Suparlan. Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.
Susetyo, Benny.
Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Suwignyo, Agus.“Menuntut
Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari
2007.
Suyanto. Pendidikan
Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa,
2000.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme
tantangan-tantangan global masa depan dalam
transformsi
pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.
………, Manajemen
Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
………,
Pendidikan, Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta,
2004.
Tholkhah, Imam.
Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004.
Yunus Firdaus,
M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.
Zubaedi. Pendidikan Berbasis
Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Komentar
Posting Komentar