Langsung ke konten utama

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM MERESPON TANTANGAN GLOBALISASI

Abstrak : Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran
dan pemahaman generasi masa depan akan pentingnya selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemnusiaan dan
pluralisme dalam pergaulan didalam masyarakat yang mempunyai
latar belakang kultural yang beragam adalah dengan melalui
penerapan pendidikan multikultural. Karena strategi dan konsep
pendidikan ini tidak hanya bertujuan agar peserta didik memahami
dan ahli dalam disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi, juga
bagaiman caranya agar siswa mempunnyai, sekaligus dapat
mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan
keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitar kita.
Dengan diterapkannya konsep dan strategi pendidikan
multikultural, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan dan
ketidak adilan yang sebagian besar dilatar belakangi oleh adanya
perbedaan kultural seper ti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa,
kemampuan, gender, umur dan kelas sosisal-ekonomi dapat
diminimalkan.
Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Tantangan Global dan
Pluralisme.
I. Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia,
kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang
begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ad diwilayah NKRI sekitar kurang
lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta
jiwa,terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.
Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam,
Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta bnerbagai macam
kepercayaan (Diknas: 2004).
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam
persoalan seperti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatisme,
perusakan lingkunghan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai
hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit
terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada
tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara
islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003.
Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme
menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan
berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada
siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,
kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan
pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan.
Sebelum perang dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal.
Malah pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan
yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok atau golongan tertentu.
Dengan kata lain pendidikan multikultural meupakan gejala baru dalam pergaulan
umat manusia yang mendambakan persaman hak, termasuk hak untuk mendapatkan
pendidikan yang sama untuk semua orang. Dalam penerapan strategi dan konsep
pendidikan multikultural yang terpenting dalam strategi ini tidak hanya bertujuan
agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajari, akan tetapi juga akan
menigkatkan kesadaran mereka agar selalu berperilaku humanis, pluraklis dan
demokratis. Begitu juga seorang guru tidak hanya menguasai materi secra
professional tetapi juga harus mamapu meneanamkan nilai-nbilai inti dari
pendidikan multikultural sepreti : humanisme, demokratis dan pluralisme.
Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan
di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang
tranformasi budaya hendaknya selalu mengedepankan wawasan multikultural,
bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta
memebongkar praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana
yang masih kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita,bahkan
hingga saat ini.
Dalam konteks ini, pendidikan multikultural merupakan pendekatan
progresif, pebendekatan ini sejalan dengan prinsif penyelenggaraan pendidikan
yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun
2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak
asai manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan
persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam,ada ajaran kita tidak boleh
membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan
adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan
multikultural hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam
terhadap ilmu pengetahuan,dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan
diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahusn.
Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila
kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum, materi pelajaran,
hingga metode pengajaran yang disampaikan oleh guru dalam proses belajar
mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad
ke-20 sistem penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh
pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang
ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri
akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu
di implementasikan (Tilaar:2004: 24).
Pendidikan multikultural di Indonesia perlu mempertimbangkan kombinasi
model yang ada, agar seperti yang diajukan Groski (1990), “pendidikan
multicultural dapat mencakup tiga hal jenis tranformasi yaitu, trnformasi diri,
tranformasi sekolah dan proses belajar mengajar serta tranformasi masyarakat”.
Dengan menggunakan berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta
mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan
menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi
penerus menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu
menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
II. Konsep Pendidikan Multikultural
A. Pengertian pendidikan Multikultural
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di
dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural
maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk
salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang,
menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya
membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan
menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk
membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan
dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui
penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur
dan ras. (Tilaar: 2003). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa
Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka
gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa
dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya
berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya.
Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku
asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua,
suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di
antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian
besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses
inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan
multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik,
ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam
mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan
multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai,
keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam
masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan
semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama,
berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi
bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi
berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang
mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa
pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan
keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis
kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple
intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang
mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran
kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari
akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas
dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah
prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan
munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku,
agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan
direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan
mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu
mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,
dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian,
kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
(Tilaar: 2004: 67).
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan
pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
(Ainurrafiq: 2003:24).
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan
multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter
militeristik orde baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang
meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu
menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk menangkal semangat
primordialisme.(Yaqin: 2005: 56, Thoha: 2005: 134). Paradigma pendidikan
multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki
apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka
penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal
untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut
semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No.20 tahun 2003 sistem pendidikan
nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes
politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
(Jamaluddin: 2005: 67). James Banks (1994) menjelaskan: bahwa pendidikan
multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang
lain”, yaitu: Pertama, Content integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya
dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori
dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kedua, the knowledge construction
process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah
mata pelajaran (disiplin). Ketiga, an equity paedagogy, yaitu menyusuaikan metode
pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka mempasilitasi prestasi akademik
siswa yang beragambaik dari segi ras, budaya, (culture) ataupun sosial. Keempat,
prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka.
Menurut Tilaar (2004: 59), pendidikan multikulturalisme biasanya
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat
berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan
nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik
yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati
terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari
strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah
memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan
kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. (Fajar:
2005: 88).
B. Kondisi Masyarakat
Ada pameo pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah
bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan cirri
dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat
yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup.
Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik
moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat
tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan,
semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal
sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya.
Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat
terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat
lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini menjadi berantakan didalam kehidupan
yang tidak menentu. Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya
masyarakat industri pada abad ke-18 di eropa. Dengan demikian munculah
gelombang modernisasi yang pertama.(Suyanto: 2000).
Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat
barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri
yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian.semua perubahan tersebut
terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa.
Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun
dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang
dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahanperubahan
sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia.modernisasi
gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat
penuh resiko. (Kompas: 15 Februari 2007 ditulis oleh Suwignyo).
Menurut Ulrich Beck’ mengemukakan “Lima proses yang secara simultan
menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi
gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis
moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. (Suparlan: 2004).
Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan
yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan didalam pendahuluan masyarakat yang
dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk
kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia.
Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep
masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsep-konsep yang lama tidak
dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang
dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut
hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan
untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut
demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam
masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia
didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang
dikenal didalam masyarakat tradisional.(Tholkhah: 2004: 8).
C. Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan
Telah kita lihat transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat
modern, antara lain disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
masyarakat barat, peranan ilmu pengetahuan yang dimuali dari abad pencerahan
telah melepaskan masyarakat tradisioanal yang terkungkung oleh tradisi dan
kekuasaan Gereja yang koserfatif. Perkembangan ilmu pengetahuan yang
menyebabkan penerapan teknologi didalam pengembangan industri telah melahirkan
negara-negara industrsi pada abad ke-18. ilmu pengetahuan juga telah menyebabkan
tuntutan terhadap pendidikan rakyat yang berwujud wajib belajar pada negaranegara
maju dimulai pada abad ke-19 perkembangan ilmu pengetahuan pada negaranegara
tersebut telah memasuki kebijakan politik kolonial dari para penjajah.(Benny:
2005:234). Di Indonesia telah lahir apa yang disebut dengan “politik etis” yang
memaksa untuk secara moral penghisapan yang dilakukanya dinegara jajahanya.
Rakyat diberi pendidikan meskipun sangat terbatas untuk melepaskan diri dari
kungkungan kebodohan dan kemiskinan. Dengan pendidikan itu pulalah dilahirkan
benih-benih nasionalisme yang kemudian menjadi kekuatan yang menghancurkan
kolonialisme itu sendiri.
Kemajuan pendidikan suatu bangsa juga merupakan dasar dari
perkembangan demokrasi. Sejalan dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terjadi
pencerahan kehidupan suatu bangsa dan negara. Perkembangan demokrasi berjalan
bersama-sama dengan kebangkitan nasionalisme, terutam didunia ke tiga. Didalam
pembukaan undang-undang dasar 1945 dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama
kemerdekaan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan kehidupan
bangsa antara lain berarti membangun suatu masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan. (Firdaus:2005:129).
Di dalam hal ini, bukan berarti bahwa yang dipentingkan ialah rasionalisme,
melainkan peningakatan kemampuan analitis dari suatu bangsa untuk melihat
perkembangan masyarakatnya, karena kemajuan pendidikan suatu bangsa juga
merupakan dasar dari perkembangan demokrasi. Dengan pendidikan, maka kelaskelas
didalam masyarakat seperti kelas penjajah yang mempunyai hak-hak istimewa
yang dibedakan dengan bangsa terjajah yang tidak mempunyai hak-hak seperti hakhak
yang diberikan kepada kaum penjajah (kaum putih). Kesadaran terhadap harga
diri, kesadran terhadap tradisi dan kebudayaan sendiri terbuka karena pendidikan.
(Zubaedi:2005:10).
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah
perkembangan masyarakat Indonesia untuk menjadikan masyarakat yang berbasis
ilmu pengetahuan ialah dengan mengedepankan pendidikan. Malahan PBB
menganggap program pendidikan merupakan salah satu dinamisator dalam
pengembangan manusia. Masyarakat industri masa depan memberi peluang yang
besar bagi pengembangan manusia. Namun dapat menjadi “ pembunuh”
pengembangan manusia apabila masyarakat tidak dipersiapkan untuk hidup dan
menghidupi masyarakat industri tersebut. (Sumartana: 2001). Di dalam konteks
inilah dipertayakan tempat dan peranan lembaga pendidikan untuk ikut serta dalam
masyarakat industri masa depan.
III. Konsep Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat
multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk
mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi,
langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.(Choerul:
2006: 76).
Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem dan
mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam membangun
masyarakat multikultural. Disisi lain, penguatan pada masyarakat multikultural,
yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara benar, akan menambah
keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya. Implikasinya, dilakukannya
penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberi hasil yang optimal, baik
dari sisi peran pendidikan maupun pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan
meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat berbagai
perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki
latar belakang budaya berbeda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa
dan bernegara.
Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter dan
semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam hal ini
karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang
pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya.
Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap
komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat seperti itu akan
berkembang, baik secara natural maupun kultural, manuju tercapainya persatuan dan
kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15 dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18
Januari 2007).
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam
khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan
demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang
dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka dan era
demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16).
Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia,
negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu
ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus
diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah
diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.(BSNP:
2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial
dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan masalah kebudayaan,
maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn suatu realitas sosial yang
akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa yang akan datang.
Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti
didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti
disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah
posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar
dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu
bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.
Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah
nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian
besifat universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme
merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan
heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang
tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah
kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif.
Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak
merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan
suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini
hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi
tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah
orientasi harus dibuktikan dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan
masyarakat.
Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang
dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat
pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan
tepat tujuan.
Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan
heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara
fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang
diyakini oleh orang banyak.
Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan
dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas.
Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari
jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis.
Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan
terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah
teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta
pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa
pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir
pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “
pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang beriorentasi
barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni negara dalam
kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang mengasah counter dis
course bagi visi pendidikan penguasa.
Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan
berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam
reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan
kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu
terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan
pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).
Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik
dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang
mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta
relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha
“politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontropersi dan
kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat
khususnya bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing
berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini:
2004:21).
A. Pendidikan Multikultural dalam Dimensi Pendidikan Nasional
Setelah kita ketahui, lahir dan berkembangnya multikulturalisme serta
praktik pendidikan multikultural dibeberapa negara yang telah melaksanakan
pendidikan multikultural, kini tibalah saatnya kita untuk mencoba menyusun konsep
pendidikan multikultural yang sekiranya dapat dikembangkan ditanah air kita sesuai
dengan kondisi sosial, budaya, dan politik ditanah air.
Pendidikan multikultural mempunyai dimensi sebagai berikut (Tilaar 2004) dan
(Benni:2006) :
1. “Right to Culture” dan identitas budaya lokal.
Multikulturalisme meskipun didorong oleh pengakuan tergadap hak
asasi manusia, namun akibat globalisasi pengakuan tersebut diarahkan juga
kepada hak-hak yang lain yaitu hak akan kebudayaan (right to culture).
Lahirnya identitas kesukuan sebagai perkembangan budaya mikro di indonesia,
memang semuanya itu memerlukan masa transisi yaitu seakan-akan melorotnya
rasa kebangsaan dan persatuan indonesia. Hal ini dapat dimengerti oleh karena
apa yang disebut budaya indonesia sebagai budaya mainstream belum jelas bagi
kita semua. Identitas budaya makro, yaitu budaya indonesia yang sedang
menjadi memang harus terus menerus kita bangun atau merupakan suatu proses
yang tanpa ujung.
2. Kebudayaan indonesia yang menjadi.
Kebudayaan indonesia yang menjadi adalah suatu pegangan dari setiap
insan dan setiap identitas budaya mikro indonesia. Hal tersebut merupakan
suatu sistem nilai yang baru yang ini kemudian memerlukan suatu proses yang
mana perwujudannya antara lain melalui proses dalam pendidikan nasional.
Oleh sebab itu ditengah-tengah maraknya identitas kesukuan, sekaligus
ditekankan sistem nilai baru yang akan kita wujdkan, yaitu sistem nilai ke
indonesiaan. Hal tersebut bukannya suatu yang mudah karena memerlukan
paradigm shift didalam proses pendidikan bangsa indonesia. Sebagai suatu
paradigma baru didalam sistem pendidikan nasional, maka perlu dirumuskan
bagaimana sistem pendidikan nasional diarahkan kepada pemeliharaan dan
pengembangan konsep negara-bangsa yaitu negara kesatuan republik indonesia
yang didasarkan kepada kekayaan kebudayaan dari berbagai suku bangsa di
indonesia.
3. Konsep pendidikan multikultural yang normatif.
Kita tidak bisa menerima konsep pendidikan multikultural yang
deskriftif yaitu hanya sekedar mengakakui pluralitas budaya dari suku-suku
bangsa di indonesia. Disamping pengakuan akan pluralitas budaya kita juga
harus mampu mewujudkan kebudayaan indonesia yang dimiliki oleh suatu
negara-bangsa. Adapun konsep pendidikan multikultural normatif adalah
konsep yang dapat kita gunakan untuk mewujdkan cita-cita tersebut. Untuk
mewujudkan semuanya jangan sampai konsep pendidikan multikultural
normatif sebagai suatu paksaan yang menghilangkan keanekaragaman budayabudaya
lokal. Akan tetapi konsep pendidikan multikultural normatif harus
mampu memperkuat identiatas suatu suku yang kemudian dapat
menyumbangkan bagi terwujudnya suatu kebudayaan indonesia yang dimiliki
oleh seluruh bangsa indonesia.
4. Pendidikan multikultural Merupakan suatu rekontruksi sosial.
Suatu rekontruksi sosial artinya, upaya untuk melihat kembalai
kehidupan sosial yang ada dewasa ini. Salah satu masalah yang timbul akibat
berkembangnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, dari perorangan maupun
suatu suku bangsa indonesia, telah menimbulkan rasa kelompok yang
berlebihan. Ini semua akan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal
yang tidak dikenal sebelumnya.
5. Pendidikan multikultural di indonesia memerlukan pedagogik baru.
Jelas kiranya untuk melaksanakan konsep Pendidikan multikultural
didalam masyarakat pluralitas tapi sekaligus diarahkan kepada terwujdnya
masyarakat indonesia baru, maka pedagogik yang tradisional tidak dapat kita
gunakan lagi. Pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan didalam
ruangan sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik. Sedangkan
kehidupan sosial-budaya di indonesia menuntut pendidikan hati (Pedagogy of
hert) yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang
pluralistiks.
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujdukan visi indonesia masa
depan serta etika berbangsa.
TAP/MPR RI Tahun 2001 No.VI dan VII mengenai visi indonesia
masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang
sangat berharga dalam pengembangan konsep Pendidikan multikultural. Dalam
hal ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti
terutama ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah
ditangani dengan UU No. 20 Tahun 2003. (UUSPN 2003).
B. Pendidikan Nasional
Pendidikan merupakan institusi yang sangat penting bagi proses penyiapan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia indonesia yang benar-benar
berkualitas. Mencerdaskan kehdupan bangsa, sebagaimana disebutkan dalam
pembukaan UUD 1945, pada hakekatnya merupakan konsepsi tentang tujuan
NKRI bidang pendidikan. Tujuan negara dalam pendidikan ini rumusannya telah
benar-benar selaras dengan konsepsi kecerdasan ganda (multiple intelligence) yang
dewasa ini sedang laris manis dibahas oleh para pakar psikologi dan pendidikan
sebasgai wacana hangat dalam dun ia ilmu pengetahuan.
Mengingat rumusan tujuan negara itu amat singkat dan filosofis akademis,
maka rumusan tujuan negara dalam bidang pendidikan itu barangkali dapat
dikategorikan sebagai filsafat pendidikan nasional, yang sejak tanggal 18 Agustus
1945 telah menjadi kesepakatan nasional. Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sesbagai penjelmaan dari amanat rakyat, telah mengesahkanya menjadi satu dari
empat tujuan negara yang harus diusahakan atau diimplementasikan secara
operasional dalam kegiatan pembangunan bidang pendidikan.
Jika “mencerdaskan kehidupan bangsa” disepakati sebagai konsensus
nasional sebagai tujuan pendidikan nasinal jangka panjang, secara operasional
tujuan itu harus dijabarkan dalam rumusan tujuan pendidikan yang lebih operasional
yang akan disusun oleh pihak eksekutif, dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut oleh
para penyelenggara negara dalam bidang pendidikan dalam rumusan kebijakan,
program, dan kegiatan. Jika mekanisme ini dapat diterima, kesimpang siuran tentang
siapa yang berhak merumuskan tujuan pendidikan menjadi agak jelas. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) merumuskan filsafat pendidikan nasional,
sedangkan tujuan pendidikan nasional yang lebih operasional disusun oleh pihak
pelaksana (eksekutif), yakni presiden dan jajaranya bersama-sama dengan Dewan
Perwakian Rakyat (DPR), yang dituangkan dalam ketentuan hukum yang disebut
Undang-Undang tentang sistem pendidikan nasional. (Imam: 2007).
Dengan demikian kita perlu merenungkan kembali untuk menetapkan
agenda esensial pendidikan nasional agar dapat mengisi dan merespon abad-21
yang dimana kita kenal dengan arus globalisasi dengan tanpa keraguan dengan masa
depan anak muda penerus anak bangsa ini. Tanpa mempersiapkan masa depan
mereka untuk hidup dimasa depan mereka untuk hidup diabad-21 dengan berbagai
unggulan kompetitif yang harus dimiliki, bangsa kita akan tenggelam dalam setiap
percaturan dunia yang semakin global.
Saat ini pemerintah telah memiliki program pendidikan nasional yang amat
strategis, yaitu peningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Dari
program itu memang bisa diyakinkan bahwa pendidikan nasional kita secara makro
cukup menjanjikan penyediaan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki
kompetitif. Untuk dapat meningkatan relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan,
kita harus melakukan inovasi dunia pendidikan dalam arti yang luas secara terus
menerus. Tanpa inovasi yang sistematis, mustahil sistem pendidikan nasional akan
berhasil menyentuh dan memecahkan persoalan esensial yang berkaitan dengan
aspek relevansi, efisiensi, dan kualitas pendidikan. Agar dapat melakukan inovasi,
kita juga memerlukan penelitian diberbagai bidang dan jenjang pendidikan.
Penyelenggara pendidikan negara yang memiliki tanggung jawab yang besar
dalam menata pendidikan sebagai bagian dari perencanaan sistem nasional. Berbagai
pertimbangan menjadi perhatian untuk mengembangkan sistem tersebut, sehingga
dalam penyelenggaraanya sisitem tersebut menjadi acuan secara nasional yang dapat
menghadapi tantangan global yang menuntut pendidikan dapat berperan
menyejahterakan umat manusia.
Sistem pendidikan nasional UUSPN No. 2 / 1989 pasal 3 adalah “untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”. Maka
menurut fungsi tersebut jelas sekali bahwa pendidikan diselenggarakan adalah
untuk:
1. mengembangkan kemampuan manusia Indonesia,
2. meningkatkan mutu kehidupan manusia Indonesia,
3. meningkatkan martabat manusia Indonesia,
4. mewujudkan tujuan nasional melalui manusia-manusia Indonesia
oleh karena itu pendidikan di selenggarakan untuk setiap manusia Indonesia
sehingga manusia Indonesia tersebut memiliki kemampuan mengembangkan
diri, meningkatkan mutu kehidupan, meningkatkan martabat dalam rangka
mencapai tujuan nasional. (UUSPN: 2003).
Upaya pencapaian tujuan nasional tersebut adalah untuk menciptakan
masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung
tingggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis,
bertanggung jawab, berdisiplin, mnenguasai sumber informsi dalam bidang iptek
dan seni, budaya dan agama. Sisdiknas merupakan suatu sistem dari sistem
kehidupan nasional. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional merupakan
subsistem dari pembangunan nasional.
IV. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Sisdiknas Di Indonesia
Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass
media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak
diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk
mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat
dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian
dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah
paham soal SARA belum berjalan secara signifikan.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan
kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan
budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari
segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan
masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan
agama secara parsial (kulitnya saja).
Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi
masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga
atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja.
Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap
antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama.
(Suharto: 2006:276).
Saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan
upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras,
suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya,
kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis
dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat
dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus
pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo,
Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit,
Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif
secara dini, untuk itu menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan
bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik
bernuansa SARA.
Menurut Zakiyuddin Baidhawy (1999:123), menyatakan bahwa paradigma
pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural
yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa
dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin,
kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari
memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai
latar belakang.
Menurut Franz Magnis Suseno, didalam masa kritis yang dilewati oleh
bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan
horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah
pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama
dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala
separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain
dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu
mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan
terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu
tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk
seluruh masyarakat. ( Choerul: 2005).
Menurut Azumardi azra pada level nasional, berakhirnya sentralisme
kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris
seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada
rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.” Berbarengan dengan
otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan
fenomena atau gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan
“etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak
hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.
(Ali: 2002:3)
A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi
Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika,
Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha
mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang
berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu
beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi
baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. (Zaenal: 2005).
Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka
dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi
pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh
pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum
pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan
formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk
badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1).
Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum
pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara
pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam
menghadapi persaingan global.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan
ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan
yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat
yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3).
Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak
terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya
gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi
informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang
diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain
berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai
budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal.
Adapun dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi
komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai
paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan
pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi
pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).
Menurut Chirzin, proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya
liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan
dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi
membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga
dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang
demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain
sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide
atau gagasan. (Sumartana: 2001:5).
Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubahaperubahan
yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya
memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di
tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri,
sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini
sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana
pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras,
agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung
pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional
adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (Tilaar: 2003:6).
Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas.
Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit,
pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan
rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai
pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan
dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat
penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang
inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi
sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai
investasi jangka panjang.
Menurut Nurkolis pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya
manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan
industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah
menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai
dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi
mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.
(Malik: 1999:34).
B. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural
Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang
mengatakan, ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya
mengandung kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya
adalah berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume
kurikulum muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau
mengenai prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi
kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah
(Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based
Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan
aturan-aturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen,
karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang
dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan
sistem pendidikan yang lebih baik.
Lebih lanjut Suyanto (2002), menyatakan UU Sisdiknas 2003, misalnya,
adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari
proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan
terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup
banyak, tidak saja dipusat (Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia
seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar,
dan Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolahsekolah
berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha
memperjuangkan aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai
dengan visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan
mayarakat khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa
yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka
akan tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama
Islam cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung
tidak setuju.
V. Penutup
Krisis multidimensi yang dialami negeri ini, diakui atau tidak merupakan
bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur
yang ada dalam masyasarakat kita. Keragaman itu sendiri adalah rahamat Tuhan
yang dianugerahkan pada bangsa dan negeri ini. Karena dengan begitu, semua kita
dapat saling mengenal dan bahu membahu dalam membangun sebuah negeri.
Namun disisi lain, apabila kita tidak dapat melihat sisi positif didalamnya,
keragaman itu dapat menjadi salah satu sumber malapetaka yang dapat
mengakibatkan adanya kecurigaan dan rasa saling tidak percaya dari satu kelompok
terhadap kelompok-kelompok yang lain. Diantaranya adalah diskriminasi, ketidak
adilan, dan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia (HAM) yang terus terjadi
hiangga hari ini dengan segala bentuknya seperti kriminalitas, korupsi, politik uang,
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak,
pengesampingan hak-hak minoritas, pengesampingan terhadap nilai-nilai budaya
lokal,,kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari
problematika kultural yang ada.
Agar tujuan pendidikan multikultural ini dapat dicapai, maka diperlukan
adanya peran serta dan dukungan dari guru atau dosen, institusi pendidikan dan
para pengambil kebijakan pendidikan lainya. Guru atau dosen perlu memahami
konsep dan stategi pendidikan multikultural agar nilai-nilai utama yang terkandung
dalam strategi dan konsep pendidikan tersebut seperti pluralisme, demokrasi,
humanisme, dan keadilan dapat juga diajarkan sekaligus dipraktekkan dihadapan
para siswa sedemikian rupa, seorang guru atau dosen tidak hanya bertanggung
jawab agar peser ta didik mempunyai pemahaman dan keahlian terhadap mata
pelajaran yang diajarkanya, akan tetapi juga bertanggung jawab untu k menanamkan
nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan dan pluralisme.
Harapan dari semua ini adalah bahwa institusi pendidikan kita, dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi, dapat menghasilkan lulusan sekolah atau universitas
yang tidak hanya mempunyai kemampuan kognitif (pengetahuan), dan
psikomotorik (keterampilan), melainkan juga mempunyai sikap (afektif) yang
demokratis, humanis, pluralis dan adil.
Bangunan Indonesia baru atau perombakan tatanan kehidupan orde baru
adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” yang didirikan diatas puingpuing
tatanan kehidupan orde baru yang bercorak “masyarakat majemuk ”(plural
society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhineka tunggal ika bukan
lagi keanekaragaman suku bangsa tetapi juga keanekaragaman kebudayaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia
yang multikutural yaitu, sebuah ideologi yang mengakui dan mengagumkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual dan secara kebudayaan.
Oleh karena itu gambaran secara umum tentang konsep pendidikan dan
konsep multikulturalisme di Indonesia yang diantaranya adalah:
1. Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik sosial.
Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan
bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset,
bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan multikultural mempunyai dua
tanggung jawab besar: menyaiapkan bangsa Indonesia untuk menghadapi arus
budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari
berbagai budaya.
2. pendidikan multikultural sebagai pembina agar sisiwa tidak tercerabut dari
akar budayanya selain sebagai sarana alternatif perpecahan konflik, pendidikan
multikultural juga signiifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercerabut
dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya tatkal berhadapan dengan realitas
sosial dan budaya di era globalisasi.
3. sebagai landasan pengembangan kurukulum penidikan nasional. Daam
melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar
mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isiu pelajaran yang harus
dikuasai siswa dengan ukuran atau tinfgakatan tertentu, maka pendidikan
multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat
penting.
4. menciptakan masyarakat multikultrural. Cita-cita reformasi untuk
membangun Indonesia baru harus dilakukan dengan cara membangun kembali
dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun
oleh orde baru. Inti dasri cita-cita tersebut adalah terwujudnya sebuah
masyarakat sipil yang demokratis, ditegakkanya hukum untuk supremasi
keadilan, pemerintah bebas KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman
dalam kehidupan masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga
madsyarakat, dan kehidupan ekonomi yang menyejahterakan rakyat Indonesia.








BIBLIOGRAFI

Ainul, Yaqin. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Arifin, Thoha, Zaenal. Kenylenehan Gusdur, Jakarta: Gama Media, 2005.
Batubara, Muhyi. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.
Cahyono, Imam“Mandeknya Pemikiran Pendidikan”, Kompas, 18 Januari 2007.
Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003.
………, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Inspeal, 2006.
Fadjar, Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005.
………, Platform Reformasi Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Idris, Jamaluddin. Kompilasi Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Taufiqiyah
Sa’adah, 2005.
Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Kartono, Kartini. Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Mahfud Choerul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Setiawan, Benni. Manifesto Pendidikan Di Indonesia, yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 2001.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2006.
Standar nasional Pendidikan, Bandung: Fokus Mrdia, 2005.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
pendidikan asional, Surabaya: Media Centre, 2005.
Suparlan. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Hikayat, 2004.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan penguasa, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Suwignyo, Agus.“Menuntut Globalisasi Yang Manusiawi,” Kompas, 15 Februari
2007.
Suyanto. Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa, 2000.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme tantangan-tantangan global masa depan dalam
transformsi pendidikan nasional, Jakarta: Grasindo, 2004.
………, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
………, Pendidikan, Kebudayaan, dan masyarakat Madani Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2004.
Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004.
Yunus Firdaus, M. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.

Zubaedi. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kartun KIsah kebaikan dan keberanian Ali Bin Abu Thalib

Definisi Pendidikan Islam Pengertian tentang pendidikan, bila dikaitkan dengan Islam, maka menjadi “Pendidikan Islam”. Nama baru ini tentunya memiliki pengertian tersendiri dari pengertian-pengertian di atas, walau dalam kenyataanya masih dapat ditarik benang merah diantara beberapa pengertian tersebut. Beberpa pengertian tentang pendidikan Islam adalah sebagai berikut: M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilanya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkanya untuk masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya”. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhir