Definisi Pendidikan Islam
Pengertian tentang pendidikan,
bila dikaitkan dengan Islam, maka menjadi “Pendidikan Islam”. Nama baru ini
tentunya memiliki pengertian tersendiri dari pengertian-pengertian di atas,
walau dalam kenyataanya masih dapat ditarik benang merah diantara beberapa
pengertian tersebut. Beberpa pengertian tentang pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan
pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal
dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilanya. Karena itu,
pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai
maupun perang dan menyiapkanya untuk masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatanya, manis dan pahitnya”.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan
islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,
memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.
Menurut Syah Muhammad A. Naquib
Al-Attas, pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak
didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Sehingga, membimbing ke arah pengenalan
dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian.
Sedangkan menurut M. Arifin,
pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupanya sesuai dengan cita-cita Islam, karena
nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadianya.
Dari pengertian-pengertian
diatas, dapatlah kita mengambil benang merah pengertian pendidikan Islam.
Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan oleh
seorang dewasa kepada anak didik untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik.
Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya pemindahan pengetahuan kepada
anak didik, namun perlu diintegrasikan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib,
sehingga dapatlah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki
kepribadian muslim yang mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan
sehari-hari, serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.
[1] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan
Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs.Zainal
Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) h.157
[2] Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran tentang pendidikan
Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980) h.94
[3] Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Hasan, Filsafat
Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h.16
[4] Op.Cit, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h.10
A. Dasar- Dasar Pendidikan Islam
Islam merupakan agama universal
yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada
manusia diseluruh muka bumi ini sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat
kelak. Untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan tersebut diperlukan adanya
suatu usaha, yang merupakan kewajiban bagi manusia dan sebagai pelaksanaannya
manusia harus berpedoman pada tata aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT,
karena dalam melakukan suatu perubahan kea rah yang lebih baik, manusia sendiri
yang melakukannya.
Pendidikan adalah suatu usaha
sekaligus proses mencapai perubahan dan perbaikan dalam mencapai kebahagiaan
hidup yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dari sejak lahir
sehingga akhir hayat. Oleh karena tugas yang cukup berat dan mulia itu maka
diperlukan suatu landasan, dasar atau fondasi tempat berpijak sehingga apa yang
menjadi tujuan pendidikan tidak menyimpang dan pindah jalur, akan tetapi
menjadi jelas.
Menurut Zakiyah Darajat “landasan
pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad.Karena itu pendidikan
yang memiliki permasalahan yang befitu kompleks dan memiliki proses yang
panjang, hendaklaha dia melepaskan landasannya baik idealnya mau[un
operasionalnya.
Landasan pendidikan Islam yait
Al-Qur’an dan Sunnah memiliki muatan dan nilai-nilai yang sangat kaya untuk
digali serta menjadikannya pijakan dalam merealisasikan tujuan pendidikan dalam
Islam.
Al-Qur’an sebagai dasar utama
hidup seorang mulim telah banyak memberika dalil, pedoman serta isyarat-isyarat
dalam menunjukan betapa pentingnya ilmu pengetahuan serta bagaimana melakukan
pendidikan dan pembinaan umat manusia. Firman Allah SWT dalam surat
Al-Mujadalah ayat 11:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. ...... (QS.
Al-Mujadalah : 11)
Dalam tafsir-ayat-ayat hukum,
ayat diatas dijelaskan, bahwa orang-orang yang diberi ilmu diberi derajat yang
tinggi, karena mereka memiliki ilmu, sekaligus dapat mengamalkannya,
orang-orang yang mempunyai ilmu yang dibarengi amal lebih tnggi derajatnya dari
pada orang-orang yang beramal tanpa ilmunya, walaupun yang menjalankan sangat
saleh, yang disebut ulama adalah orang yang tidak menegerjakan segala perintah
keculai berdasarkan keterangan dan dalil, oleh karena itu orang alim akan
mendapat pengikut dalam amal perbuatannya yang berlainan sekali dengan orang
jahil yang tdak akan mendapatkan pengikut, orang alim akan mengetahui tata cara
mencegah dari pebuatan haram dan subhat, mengetahui hak Allah dan
hamba-hamba-Nya, mengetahui tata cara khusu’ dalam menghambakan diri ibadah
kepada Allah SWT.
B. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Berbicara tentang tujuan
pendidikan Islam, tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup itu sendiri. Sebab
pendidikan Islam hanyalah salah satu yang digunakan oleh manusia untuk
memeliahara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan
nilai budaya dai satu generasi ke genari lain. Tetapi bukan hanya fungi
pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada
individu-individu supaya dapat dipergunakan sendiri.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi,
tujuan pendidikan Islam adalah “Apa yang dicanangkan oleh manusia diletakkannya
sebagai pusat dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya”.
Bila mendidik dipandang sebagai
suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir
dari proses tersebut. Tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan pada
hakikatnya adalah suatu perwujudan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia.
Lebih terperinci lagi Yusuf Amir
Feisal memaparkan tuujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Membentuk manusia muslim yang
dapat melaksanakan ibadah mahdah.
2. Membentuk manusia muslim
disamping dapat melaksanakan ibadah mahdhah dapat melaksanakan ibadah muamalah
dalam kedudukannya sebagai orang perorangan atau sebagai anggota kemasyarakatan
dalam lingkungan tersebut.
3. Membentuk warga negara yang
bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung
jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada
Allah SWT penciptanya.
4. Membentuk dan mengembangkan
tenaga professional yang siap dan trampil atau tenaga setengah terampil untuk
memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakat.
5. Mengembangkan tenaga ahli
dibidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu Islam lainnya).
[1] Zakiyah darajat,Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992)cet.2, h: 19
[2] Abdurrahman An-Nahlawi,
prinsip-prinsip Islam dalam kelarga, (bandung: dipenorogo, 1992), h: 160
[3] Yusuf Amir Feisal,
“Reorientasi Pendidikan Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press 1995), cet 1, h: 94
Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2270486-dasar-dasar-pendidikan-islam/#ixzz1qEAOi5yf
HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
oleh Nisa Islami
A. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukuman dalam Pendidikan
Islam
Dalam teori belajar (learning
theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah
sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah
laku yang diharapkan.[7] Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah
laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang
yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah
laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di
sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan
jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk
menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan
tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang
siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat
menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang
digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah
satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung
makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf
Mdzakkir.[8] Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk
membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat
paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman
yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan
bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak
peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah
Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun
dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat
tidur mereka.” (HR. Dawud)
Paul Chanche mengartikan hukuman
adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by
following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan
konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang
dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some
aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik
baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib
tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum
tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur
atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah
boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila
melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku
apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada
penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi
pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan
perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan
dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu keadaan anak
didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari
pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam
lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam
menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati,
diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam
pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak,
tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini
hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb
dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari beberapa pengertian di atas
dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam
adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan
atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang
ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar
tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai.
2. Dasar
Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan
hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan
sunah Rasul-Nya.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan
perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa
mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan
merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)
Dalam ayat tersebut dijelaskan
bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang
dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan
paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang
tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa
bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka
diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di
mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan
tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah
memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya
ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak
juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun
Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan
yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah
terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian pula terhadap mendidik
anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun
masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan
menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka
pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau
mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil
maka pendidik bisa menggunakan pukulan.
Adapun perintah mendidik anak,
telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw
pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan
Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat
tidur mereka.” (HR. Dawud)
Dari Firman Allah Saw dan hadist
Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum pemberian
hukuman dalam pendidikan Islam.
3. Tujuan Hukuman
dalam Pendidikan Islam
Apa sebenarnya tujuan orangtua
dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang
ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih
banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang
menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini,
Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah
menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan.
M. Mgalim Purwanto
mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang
teori-teori hukuman, yaitu:
Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman
diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan
seseorang.
Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman
diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar
jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman
diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini, hukuman
diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari
kejahatan atau pelanggaran itu.
Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman
diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat
perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan
perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya
mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan
dari teori yang lain.
Sedangkan tujuan hukuman menurut
M. Arifin ada dua, yaitu:
Membangkitkan perasaan
tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa
aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
Memperkuat atau memperlemah respon negatif.
Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal
membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan
pokoknya.
Dari beberapa pendapat di atas
dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk
memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah
kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan
bertanggungjawab atas kesalahannya.
4. Macam-macam Hukuman
dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat dalam
mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
Dalam buku Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang
membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:
1) Hukuman Preventiv,
yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi
pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan.
2) Hukuman Represif,
yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya
kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi
pelanggaran.
Sementara itu W. Stern
membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman
itu.
1) Hukuman Asosiatif,
yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan
pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan
dengan pelanggarannya.
2) Hukuman Logis,
yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak
yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman
akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3) Hukuman Normatif,
bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya
dengan pembentukan watak anak-anak.
Ada pula yang membagi
hukuman menjadi dua, yaitu:
1) Hukuman Alam, yang
dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada
anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya.
Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya.
2) Hukuman Yang
Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
Syaikh Muhammad bin
Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:[18]
1) Hukuman yang
Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk,
memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2) Hukuman yang
Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan pengarahan,
mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir, mendiamkan,
teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah,
menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam hukuman di
atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan
represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak
tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua
istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman Alam juga kurang tepat
karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam
beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada
benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui
norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang
tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau
alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di
sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik.
Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan
harapan bisa berubah dengan sendirinya.
5. Syarat Penggunaan
Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah satu alat
yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah
kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng
tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih
besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan
mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan
dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini
jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan
cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah
hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan
persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
Pendidik tidak
terburu-buru.
Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan
sangat marah.
Menghindari anggota badan yang peka seperti
kepala, muka, dada dan perut.
Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10
tahun.
Jika kesalahan anak adalah untuk pertama
kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji
untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan
dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya
sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa
hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun
karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang
ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya, sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Nawawi:
“Wajib juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak
menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah
sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa
dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk
meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang tidak menyakitkan atas
kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang
bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun demikian, kebolehan
menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya,
khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan
untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai
hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata
akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder.
Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya
di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik
memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus
dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal
terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat yang lain
membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
Lemah lembut dan kasih
sayang.
Dilakukan secara bertahap, dari yang paling
ringan hingga yang paling keras.
Armai Arief membagi syara-syarat
pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu:
Tetap dalam jalinan
cinta, kasih dan sayang.
Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
Menimbulkan kesan di hati anak.
Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada
anak didik.
Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan
serta kepercayaan.
Sedangkan secara singkat M.
Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain:
Dapat dipertanggung
jawabkan
Bersifat memperbaiki
Tidak boleh bersifat ancaman atau
pembalasan dendam
Jangan menghukum pada waktu sedang marah
Harus diberikan dengan sadar dan sudah
diperhitungkan atau dipertimbangkan
Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan
yang sebenarnya
Jangan melakukan hukuman badan
Tidak boleh merusak hubungan baik antara si
pendidik dan anak didiknya
Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu
menginsafi kesalahannya.
Dari beberapa pendapat di atas,
kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam
mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam sehingga yang penting dalam
memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat menimbulkan perasaan menyesali
atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.
6. Tahapan Pemberian
Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman ada
tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga
akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:
Memberikan nasehat
dengan cara dan pada waktu yang tepat
Yaitu dengan tidak memojokkan dan
mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat
membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan
waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan.
Hukuman pengabaian, untuk
menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan
catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan
menyakitkan.
Rasulullah Saw menjelaskan
tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan
kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang
terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan
dengan:
Pengarahan
Ramah tamah
Memberikan isyarat
Kecaman
Memutuskan hubungan (memboikotnya)
Memukul
Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan
pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa
pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah
bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak
boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika pendidik
menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka
hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara
keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa
mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika pendidik tahu bahwa dengan
salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan
meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras
secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak
dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman
terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga
dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.
7. Dampak Negatif dan
Dampak Positif Hukuman
Dampak Negatif
Jika kita bertanya dapatkan suatu
hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang
anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum
tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman
mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan
kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada
tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:
1) Menimbulkan
perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini
adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2) Anak menjadi lebih
pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh
pendidik.
3) Si pelanggar
menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar
hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu
dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul
dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:
1) Membangkitkan
suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2) Murid akan selalu
meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta
(karena takut dihukum).
3) Mengurangi
keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil
Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:
1) Mengacaukan dan
menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2) Guru dan murid
akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada
keduanya secara bersamaan.
3) Adanya bekas yang
merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga
atau anggota badan lainnya.
4) Kesulitan
pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5) Kesulitan yang
akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga
dan penyidik
6) Terbuangnya waktu
murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi
ketika pelajaran berlangsung
7) Hilangnya rasa
saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa digunakan
dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang
melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera
kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata
tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada selurut
murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam
sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[30]
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim
mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan,
yaitu:[31]
1) Mewariskan pada
diri anak kebodohan dan kedunguan
2) Anak akan merasa
rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih
kecil sekalipun
3) Suka membangkang
sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah Rasulullah Saw
dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak, sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
Dampak Positif
Armai Arief mengatakan dampak
positif dari hukuman antara lain:
1) Menjadikan
perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2) Murid tidak lagi
melakukan kelahan yang sama.
3) Merasakan akibat
perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak
positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1) Memperbaiki
tingkah laku si pelanggar.
2) Memperkuat kemauan
si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
[1] www.balipost.co.id
[2] www.kompas.com
[3] Reportase Sore Trans 7, Edisi, 29 Desember 2006
[4] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj.
Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 333
[5] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun
(Bandung, 1993), hal. 341
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam
(Bandung, 2001), hal. 187
[7] http://fertobhades.wordpress.com/2006/11/12/hkmn/
[8] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam
(Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206
[9] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan
A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[10] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[11] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun
(Bandung, 1993), hal. 341
[12] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang, 1993), hal.
66
[13] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M. Arifin dan Zainuddin (Jakarta, 2005), hal. 228
[14] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan
A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[15] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta,
2005), hal. 81
[16] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis
(rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[17] Ibid. hal. 178
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan
Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solom 2005), hal. 167-183
[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj.
Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327
[20] Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Syarah Safinatu An-Naja)
(Semarang, 1985), hal. 17
[21] Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan
Rasulullah Saw, terj. Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi (Bandung, 2005), hal.
303-305
[22] Abla Bassat Gomma, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi
Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa pada Anak-Anak, terj. Mohd.
Zaky Abdillah (Solo, 2006), hal. 48
[23] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis
(rev. ed.; Bandung, 1994), hal. 179-180
[24] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta,
2005), hal. 94-96
[25] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj.
Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 316-323
[26] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj.
Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal 323
[27] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis
(rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 177
[28] Armai Arie, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam
(Jakarta, 2002), hal. 133
[29] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan
Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solo, 2005), hal. 166-167
[30] Ibid. hal. 166
[31] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan Fatal Mendidik
Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya (Yogyakarta, 2002), hal.
135
[32] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam
(Jakarta, 2002), hal. 133
WIBAWA DALAM PENDIDIKAN (SEORANG
PENDIDIK)
BAB I
PENDAHULUAN
A. HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN
MANUSIA
Berdasarkan uraian diatas
jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia tersebut dapat
ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia mampu
mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal, untuk
merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Namun tidak semua pendidikan
dapat mengemban tugas dan fumgsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan
penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperanbagi
pengembangan manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitri
yang dimilikinya.
Dan nampaknya satu-satunya konsep
pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep pendidikan Islam. Dengan pendidikan
islam manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan
kemungkinan kepada Allah, dan bahkan ia berusaha agar segala aktivitasnya
sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ‘ubudiyah kepada Allah Swt.
Batasan tentang pendidikan yang
dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari
yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang
digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
Maka dari itu ada bebrapa hal mengapa pendidikan sangat penting bagi kehidupan
manusia, yaitu antara lain :
a Pendidikan sebagai Proses
transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi
budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu
generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses
transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi
yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran,
rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b Pendidikan sebagai Proses
Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan
pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan
sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses
pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka
yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah
dewasa atas usaha sendiri.
c Pendidikan sebagai Penyiapan
Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyiapan
tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga
memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting
dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WIBAWA
Wibawa adalah sifat yang
memperlihatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui sikap dan
tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik (KBBI, 2000). Guru
yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur
katanya, penga-jarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi
siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya.
Pada era 1960-an, wibawa guru
masih kental dan terasa. Sosok guru selalu dipuja, dihormati, dan sikap serta
pemikirannya senatiasa ditela-dani. Apa yang disampaikan gurunya selalu
diang-gap sebagai amanat yang wajib dilaksanakan. Siswa menjunjung tinggi
gurunya, bahkan melebihi orang tua kandungnya sendiri. Pada era itu, siswa
tidak berani berbicara sambil menatap langsung mata gurunya, tetapi berbicara
sambil menunduk dengan suara yang pelan. Begitu tingginya derajat guru kala
itu, siswa akan gugup dan berkeringat dingin ketika diajak bicara oleh sang guru.
Perubahan dan pergeseran
peri-laku generasi muda pada era 2000-an telah berimbas kepada merosotnya
wibawa guru. Idiom guru ialah sosok yang digugu dan diguru tidak berlaku lagi.
Siswa cenderung memandang enteng gurunya. Oleh karena merasa sudah membayar
mahal uang sekolah-nya serta menganggap guru sebagai orang bayaran. Pada lain
pihak, guru seperti memakan buah simalakama. Pada satu sisi, guru ingin
menancapkan kewiba-waannya di mata siswanya, tetapi pada sisi lain ada perut
yang harus diisi, ada dapur yang harus mengepul, uang kontrakan yang harus
dibayar,dan ada anak yang harus dibiayai. Apa daya, guru terpaksa bekerja
ekstra, terpaksa memberi les tambahan, terpaksa mengajar di berba-gai tempat,
bahkan menyambi sebagai pengojek. Jadi, indikasi merosotnya wibawa guru adalah
karena adanya impitan ekonomi. Di samping itu, masuknya budaya asing dan
kemajuan teknologi dianggap sebagai pemicu perubahan perilaku anak sekolah.
Adanya tawuran, geng motor, masuk-nya narkoba di lingkungan sekolah, dan
rusaknya moral remaja adalah contoh yang konkret. Aura kewiba-waan guru mutlak
harus terpancar dan merasuk ke dalam jiwa murid-muridnya.
Untuk menegakkan wibawa yang
runtuh itu, diperlukan kebesaran hati guru itu sendiri dengan mau berjuang
untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kompetensi serta
profe-sionalismenya. Guru yang smart dan berwawasan luas dapat menyihir
siswa-nya serta membuat takjub dan terkesima sehingga si murid akan menaruh
hormat kepadanya. Akan tetapi, apa daya, karena beban kerja yang tinggi untuk
mengejar setoran, si guru tidak sempat mengasah diri dan membuat dirinya
bernilai. Harga diri yang jatuh dan wibawa yang terhempas telah menimpa guru
kita. Akankah keadaan ini dibiarkan? Tugas mulia guru harus diganjar dengan
penghargaan dan apresiasi yang tinggi. Bukan sebaliknya, guru malah harus rela
gajinya tidak dibayar dalam jangka waktu berbulan-bulan dan disunat oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab.
B. KAJIAN WIBAWA GURU
Dengan membaca beberapa kajian,
kita dapat melihat sketsa kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Nilai-nilai
budi pekerti dapat dipetik dalam karya sastra. Sebaliknya, unsur negatif dan
kerusakan moral yang terjadi di bumi ini pun dapat terekam dalam karya sastra.
Karya sastra era 1960-an dan karya sastra era 2000-an memiliki perbedaan yang
mencolok apabila dikontraskan.
Dalam kajian ini, ditemukan
pertentangan wibawa guru antara sosok guru dalam era 1960-an dan era 2000-an.
Terlihat dalam data dan analisis sebagai berikut.
Pada era 1960-an, wibawa guru
masih terpancar. Murid masih mengagumi gurunya, menaruh hormat, dan menempatkan
guru pada derajat yang tinggi. Murid berlomba-lomba menolong gurunya supaya
mendapat pahala. Sosok guru dijadikan gantungan untuk bertanya, baik masalah
pelajaran, keluarga, bahkan masalah persawahan. Dengan demikian, guru masih
dianggap orang yang ahli, banyak ilmu, dan bijak. Di mata murid dan masyarakat,
guru lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tua bahkan pemuka masyarakat.
Bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang guru merupakan suatu
kebanggaan.
Jadi, dalam pada era 1960, citra
guru sangat positif. Akan tetapi, pada era 2000-an, wibawa guru memudar. Guru
malah diperolokolok-kan, dicemoohi, dan menjadi sosok yang dihindari. Murid
tidak menempatkan guru sebagai mitra yang dapat diajak bekerja sama. Murid
malahan menempatkan gurunya pada tempat yang negatif. Guru disimbolkan sebagai
sosok yang menakutkan, jahat, dan mengerikan. Persepsi murid terhadap guru itu
muncul karena ketiadaan wibawa yang melekat pada gurunya. Pelecehan murid kepada
guru bukanlah sekedar isapan jempol. Pada kenyataan, ada fakta yang menyebutkan
seorang murid tega memukuli gurunyan sampai babak belur karena merasa sakit
hati ketika ditegur di kelas. Ada juga murid yang tega menggembosi ban sepeda
motor gurunya karena mendapat nilai jelek. Ada pula murid yang berani mengancam
gurunya dengan pisau supaya ia diluluskan. Perubahan perilaku di atas terjadi
karena terjadinya kemunduran moral dan akhlak.
C. MACAM-MACAM KEWIBAWAAN
Ditinjau dari daya mempengaruhi
seseorang, kewibawaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kewibawaan lahir;
Kewibawaan lahir merupakan
kewibawaan yang nampak dan terlihat pada diri seorang pendidik atau seorang
guru. Kewibawaan lahir bisa nampak dari cara berpakaiannya, cara berbicaranya
dan dari cara dia bertindak. Kewibawaan lahir ini bisa diraih dengan cara
pembentukan fisik dan gerak yang kharismatik ketika berhadapan dengan peserta
didik.
2. Kewibawaan Batin;
Kewibawaan bathin merupakan
kewibawaan yang dimiliki oleh seorang guru atau pendidik yang tak nampak atau
tidak terlihat, namun ketika ia hadir maka setiap siswa dapat merasakan bahwa
ia adalah sosok yang mengagumkan dan sosok yang patut untuk dipatuhi
perintahnya, harus didengarkan setiaap perkataanya dan harus senantias menaruh
hormat kepadanya. Meskipun pendidik tak melakukan atau berbicara apapun, namun
karena kewibawaan yang terpancar dari dalam dirinya maka ia akan senantiasa
dihormati oleh peserta didik atau muridnya.
Kewibawaan bathin ini bisa
didapatkan dengan senantiasa mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita
atau dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Imam Al-Ghazali
pernah berkata jika manusia ingin disebut sebagai manusia yang sesungguhnya
maka ia harus senantiasa memperkuat ruhnya dengan amalan-amalan ukhrowi, karena
ruh adalah sumber kebahagiaan, ruh adalah pemancar ketenangan dan harapan dan
ruh ialah sumber dari kekuatan. Maka, untuk mengoptimalkan potensi ruhaniah
yang ada pada diri kita hendaknya seorang pendidik haris senantiasa berdo’a dan
mengingat Allah dalam setiap aktivitasnya, teruatama saat mendidik.
D. MEMBENTUK DAN MEMPERTAHANKAN
KEWIBAWAAN
Wibawa adalah pengaruh yang baik
secara abadi dari seseorang kepada orang lain yang tercermin pada pribadi dan
perilaku kehidupannya. Wibawa menumbuhkan ketaatan dengan kesadaran,
pengertian, dan persetujuan. Wibawa guru penting untuk memudahkan memberi
pengaruh dalam penularan atau penyampaian pembelajaran. Selain itu, wibawa guru
akan cenderung menyadari keberhasilan kerjanya. Wibawa guru menunjukkan pengakuan
martabat dirinya yang tidak perlu dukungan dari orang lain. Seperti dengan cara
intimidasi atau memberikan tekanan pada siswanya.
Oleh karena itu, guru yang
berwibawa akan memberikan pendidikan dengan layanan prima dan tanpa pamrih.
Siswa akan dididik dengan tulus agar dapat menjalani hidup yang sukses.
Perilaku guru pun menunjukkan pribadi yang jujur, adil, taat asas, tulus, dan
bijaksana. Sebaliknya, guru yang melakukan pendidikan dengan penekanan
cenderung bersifat indoktrinasi yang dipandang bukan pendidikan lagi. Dengan
demikian, siswa tidak dididik untuk memiliki kemandirian yang bebas, etis, dan
bertanggung jawab sendiri.
Fungsi dan tanggung jawab
mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setap warga masyarakat. Setiap
warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda,
khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun
namanya, tiap orangtua merasa berkepentinagn dan berharap supaya anak-anaknya
menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, kewajiban mendidik
ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Yang jelas, kaum professional
ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama dan mengalami
latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus
mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip
umum, seperti:
1. Melakukan kewajiban dasar good
will atau itikad baik, dengan kesadaran pengabdian;
2. Memperlakukan siapapun, anak
didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri;
3. Menghormati perasaan setiap
orang;
4. Selalu berusaha menyumbangkan
ide-ide, konsepsi-konsepsi dan karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang
kewajibannya.
5. Akan menerima haknya
semata-mata sebagai suatu kehormatan.
Dan untuk menjadi seorang
pendidik (guru) yang professional dan berwibaawa setidaknya ada beberapa
persyaratan yang harus dimilki oleh seorang pendidik, baik itu dilihat dari
aspek pribadi serta menjalin hubungan (relationship) dengan peserta didiknya. Diantara
syarat-syarat tersebut ialah :
1. Berkaitan dengan diri seorang
pendidik (guru) :
a) Sehat jasmani dan rohani;
b) Bertaqwa dan memiliki
kecerdasan social;
c) Memiliki kecerdasan
interlektual dan berpengetahuan luas;
d) Ikhlas;
e) Mempunyai orientasi yang
jelas; dan
f) Menguasai bidang yang
ditekuni.
2. Berkaitan dengan Sikap guru
terhadap peserta didik:
a) Berlaku adil, tidak pilih
kasih;
b) Mampu menjadi suri tauladan;
c) Bijaksana terhadap murid;
d) Memiliki kesabaran;
e) Tidak mudah marah dan mampu
mengontrol emosi;
f) Mampu memberikan motivasi;
g) Menegur dengan bijak;
h) Memerintah dengan cara yang
menyenangkan; dan
i) Mampu merangsang murid
berkreasi.
Seorang pendidik yang berwibawa
harus banyak melakukan terobosan untuk merangsang dan membangkitkan kreativitas
muridnya. Karena peserta didik ibarat kertas putih, ia harus dibiarkan tumbuh
apa adanya. Seorang pendidik tidak boleh mengintervensi kesucian hidupnya,
tugas pendidik adalah membimbing kejalan yang benar bila ia terlihat melenceng
dari jalan kebenaran. Seperti tanaman yang tumbuh degnan subur apabila disirami
dan diberi wahana yang cocok, kreativitaspun demikian adanya.
E. KEWIBAWAAN DAN ANAK DIDIK
Perkembangan dan kewibawaan anak
didik ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana hal ini merupakan syarat
tekhnik pergaulan yang juga merupakan ’prototype kewibawaan dalam berbagai
lingkungan. Dalam lingkungan pendidikan, kepercayaan yang diberikan oleh
pendidik kepda anak didik mempunyai dua arti, yaitu :
1. Bahwa keinginan pendidik untuk
terus mengikat pribadi anak didik pada dirinya telah dapat diatasi oleh
pendidik.
2. bahwa kepercayaan itu adalah
suatu sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang.
Kepercayaan itu memberikian
dorongan kepada anak didik agar ia berani dan penuh keyakinan serta keinginan
berusaha supaya menjadi dewasa. Kedewasaan dapat dikatakan akhir masa
pendidikan, dalam arti apabila manusia itu telah dianggap menjalankan
kewibawaan atas diri dan segala sesuatu yang dipercaya dan disamping itu tetap
mengakui dan patuh pada kewibawaan yaang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai, Dr., 2007.
Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press.
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi
Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Jalaludin, Prof. Dr. H &
Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Johnson, Lou Anne. 2009.
Pengajaran yang Kreatif dan Menarik: Cara Membangkitkan Minat Siswa melalui
Pemikiran. Terj. Dani Dharyani. Jakarta: PT. Indeks.
Khalifah, Mahmud & Usamah
Quthub., 2009. KAIFA TASHABAHA MU’ALLIMAN MUNAZIYAN (Menjadi Guru yang Dirindu,
Bagaimana Menjadi Guru yang Memikat dan Profesional). Terj. Muhtadi Kadi &
Kusrin Karyadi. Surakarta : Ziyad Visi Media.
Nurteti, Lilis., S.PdI, M.Pd.
2009. PEDAGOGIK Pengantar Teori Analisis, Untuk Kalangan Mahasiswa Institut
Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.
Ramayulius, Prof. Dr. H., 2007.
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Ramly, Tengku Amir., 2008.
MENJADI GURU IDOLA Mengajar dari Kedalaman Hati. Bekasi : Pustaka Inti.
Sumiati, Dra. & Asra, M.Ed.
2007. Metode Pembelajaran, Bandung : Wacana Prima.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 2006.
Filsafat Pendidikan Islami (integrasi jasmani, rohani, dan kalbu memanusiakan
manusia), Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tholkhah, Imam, Dr., 2008. Profil
Ideal Guru Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Titian Pena.
Widodo, Ardi, Dr., 2007. Kajian
Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Jakarta: Nimas Multima.
Jalasutra Egleton Terry. ikbud.
2004. Kamus Besar Bahasa Baku. Jakarta: Balai Pusat.
Soetjipto. 2004. Profesi
Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
http://menaraislam.com/content/view/75/40/
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com
http://lorongedukasi.wordpress.com/
http://newspaper.pikiran-rakyat.com
http://www.idonbiu.com/2009/04/upaya-meningkatkan-citra-guru.html
PENGERTIAN FITRAH MENURUT AHLI
PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Struktur fitrah merupakan
struktur yang mencakup keseluruhan komponen manusia. Fitrah dapat berbentuk komponen
psikis saja, atau juga bisa berbentuk komponen psikopisik. Fitrah memiliki
natur multi dimensi dan multi potensi. Dikatakan multi dimensi karena fitrah
mampu menggambarkan keseluruhan periode atau tahapan kehidupan manusia, baik
dimensi alam pra kehidupan dunia, alam kehidupan dunia, maupun alam pasca
kehidupan dunia. Dikatakan multipotensi karena fitrah memiliki beberapa potensi
yang secara inhern telah ada pada diri manusia sejak awal penciptaannya.
Beberapa potensi fitri itu masih bersifat potensial yang aktualisasinya sangat
tergantung kepada usaha (al-kasb, al-sa’a) manusia sendiri. Oleh karena itu,
pemilihan struktur ini merupakan pemilihan yang tepat, sebab konsep fitrah
menggambarkan hakekat manusia yang secara gamblang diungkap di dalam Al-Quran
dan Sunnah yang substansinya dapat mengkaver keseluruhan dimensi-dimensi
kepribadian manusia yang sesungguhnya.
Untuk kejelasan bahasan ini,
penulis menggunakan pola yang ditawarkan oleh Toshihiko Izutsu. Bagi Izutsu ,
pemahaman hakekat manusia dapat ditempuh melalui tiga tahap; Pertama, memilih
istilah-istilah kunci (key terms) dari vocabulary Al-Quran, yang dianggap
sebagai unsur konseptual dasar bagi ideology Qur’ani. Kedua, menentukan makna
pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Makna pokok
berkaitan dengan makna kebahasaan atau makna semantik yang menjadi elemen
penting dalam istilah tersebut. Sedang makna nasabi merupakan makna tambahan
yang terjadi kerena istilah itu dihubungkan dengan konteks dimana istilah itu
berada. Ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep itu ke dalam satu
kesatuan.
Ketiga langkah di atas memiliki
validitas apabila sebelumnya telah diungkap terlebih dahulu konsep fitrah di
dalam Al-Quran dan sunnah. Oleh sebab itu, penulis berusaha mengungkap konsep
fitrah malalui leksikologi Al-Quran dan hadits yang ditopang oleh penafsiran
para pakar. Dengan upaya ini diharapkan dapat ditemukan konsep hakiki fitrah
yang berkaitan dengan maknanya.
BAB II
FITRAH
II.1 Fitrah di dalam Al-Quran
Fitrah dalam Al-Quran disebutkan
sebanyak 20 kali. Masing-masing ayat yang memuat term fitrah memiliki bentuk,
kategori, subjek, objek, aspek dan makna tersendiri. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat tabel berikut ini:
Berdasarkan tabel di bawah maka
term fitrah dapat dipahami sebagai berikut:
No Tempat Ayat Bentuk Kata
Kategori Ayat Subjek Ayat Objek Ayat Arti Ayat
1 Al-An’am:79 Fi’il Madhi
Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
2 Al-Rum:30 Fi’il Madhi Makkiyah
Allah Manusia Penciptaan
3 Hud:51 Fi’il Madhi Makkiyah
Allah Manusia Penciptaan
4 Yasin:22 Fi’il Madhi Makkiyah
Allah Manusia Penciptaan
5 Zukhruf:27 Fi’il Madhi Makkiyah
Allah Manusia Penciptaan
6 Thaha:72 Fi’il Madhi Makkiyah
Allah Manusia Penciptaan
7 Al-Isra’:51 Fi’il Madhi
Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
8 Al-Anbiya’:56 Fi’il Madhi
Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
9 Maryam:90 Fi’il Mudhari’
Makkiyah Allah Langit Belah
10 Asy-Syuura:5 Fi’il Mudhari’
Makkiyah Allah Langit Belah
11 Al-Infithar:1 Fi’il Madhi
Makkiyah Allah Langit Belah
12 Asy-Syuura:11 Isim Fa’il Makkiyah
Allah Langit-Bumi Penciptaan
13 Al-An’am:14 Isim Fa’il
Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
14 Ibrahim:10 Isim Fa’il Makkiyah
Allah Langit-Bumi Penciptaan
15 Fathir:1 Isim Fa’il Makkiyah
Allah Langit-Bumi Penciptaan
16 Yusuf:101 Isim Fa’il Makkiyah
Allah Langit-Bumi Penciptaan
17 Al-Zumar:46 Isim Fa’il
Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
18 Al-Rum:30 Isim Masdar Makkiyah
Allah - -
19 Al-Mulk:3 Jama’ Makkiyah Allah
Langit Belah
20 Al-Muzammil:18 Isim Fa’il
Makkiyah Allah Langit Belah
1) Kata fitrah (al-fitrah) merupakan bentuk masdar dari kata
fathara. Dengan segala perubahan bentuknya, ia terulang dalam Al-Quran sebanyak
20 kali yang tersebar di dalam 17 surat.
2) Semua surat yang di dalamnya memuat kata fitrah diturunkan di
Makkah, sehingga surat ini disebut dengan surat Makkiyah. Isi surat Makkiyah
adalah tentang masalah-masalah keimanan dan penyembahan yang bersifat
ketauhidan. Dengan demikian konsep keimanan dalam fitrah masih bersifat
universal dan potensial, bukan dalam bentuk spesifik dan aktual. Spesifikasi
dan aktualisasi fitrah islam hanya dapat diperoleh melalui penelaahan suatu
ayat tertentu, bukan dari generalisasi semua ayat.
3) Subjek fitrah adalah Allah SWT, karena hanya Dia Zat
al-Fathir (pencipta).
4) Objek fitrah adalah (a) khusus manusia (al-nas), (b)
langit-bumi (samawat wa ardh), dan (c) langit (samawat). Dengan kategori ini,
konsep fitrah dapat dikaitkan dengan semua penciptaan alam, baik alam makro
(langit-bumi) maupun alam mikro (manusia).
5) Makna fitrah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-syaqq
(pecah/belah) yang ditujukan pada objek langit dan al-khilqah (penciptaan) yang
ditujukan pada objek manusia.
II.2 Fitrah di dalam Hadits
Fitrah diungkap dalam hadits
dengan berbagai bentuk dan makna. Masing-masing hadits memiliki topik dan latar
belakang yang berbeda-beda. Penulis di sini hanya menampilkan beberapa hadits
dalam bentuk terjemah ke bahasa Indonesia. Walaupun kuantitasnya masih relatif
minim, namun diperkirakan mampu mengkaver keseluruhan kata-kata fitrah dalam hadits.
Adapun hadits yang dimaksud adalah :
Hadits pertama :
“Seseorang tidak dilahirkan
kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits kedua :
“Sepuluh macam yang termasuk
dalam kategori fitrah, yaitu (1) mencukur kumis, (2) membiarkan jengggot
panjang dan lebat, (3) bersikat gigi/bersiwak, (4) menghirup air untuk
membersihkan hidung, (5) menggunting kuku, (6) membersihkan jari-jemari, (7)
mencabut bulu ketiak, (8) mencukur bulu kelamin, (9) membersihkan kencing
dengan air, dan (10) berkumur-kumur.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah)
Hadits ketiga:
“Zakat fitrah itu diwajibkan
sebanyak segantang kurma atau segantang gandum bagi setiap orang Muslim merdeka
maupun budak, laki-laki maupun wanita.” (H.R. Al-Bukhari dari Ibn Umar)
Hadits keempat:
“Shalat Idul Adha itu sebanyak
dua rakaat, shalat Idul Fitri itu sebanyak dua rakaat, shalat orang yang
berpergian itu sebanyak dua rakaat, shalat Jumat itu sebanyak dua rakaat.”
(H.R. Al-Nasa’I dari Umar ibn al-Khattab)
Hadits kelima :
“Doa Nabi SAW: Ya Allah yang
menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, Tuhan
segala sesuatu dan sesuatu itu menjadi milik-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Engkau. Aku minta perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsu dan
syaitan serta kroni-kroninya.” (H.R. Al-Darimiy dari Abu Hurairah)
Berkenaan beberapa hadits di
atas, maka dapat dipahami sebagai berikut :
Pertama, hadits pertama berkaitan
dengan masalah takdir dan status anak yang dilahirkan, baik dari keturunan
mukmin atau kafir. Konsep fitrah pada hadits ini mengisyaratkan adanya takdir
manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam kondisi kemusliman.
Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi psikis manusia yang
berpotensi untuk ber-Islam.
Kedua, hadits kedua berkaitan
dengan topik kesucian fisik manusia. Dalam hadits di atas, terdapat sepuluh
macam yang termasuk bagian kefitrian (kesucian). Barangsiapa yang mau melaksanakan
sepuluh macam itu maka fisiknya berada dalam kefitrian. Konsep fitrah di sini
lebih dekat diartikan dengan kondisi kesucian fisik manusia.
Ketiga, hadits ketiga berkaitan
dengan topik zakat fitrah, yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap umat Islam
pada bulan Ramadhan, baik kecil maupun besar, laik-laki maupun perempuan, budak
maupun merdeka. Zakat ini berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia, dan dapat
menambah kesempurnaan ibadah puasa. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan
dengan jenis zakat yang diwajibkan untuk setiap individu Muslim agar jiwanya
menjadi fitri (suci).
Keempat, hadits keempat berkaitan
dengan topik shalat pada hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul Fitri
dua rakaat. Konsep fitrah pada hadits ini lebih dekat diartikan dengan jenis
shalat sunnat yang dilakukan setiap satu bulan syawal.
Kelima, hadits kelima berkaitan
dengan topik salah satu nama (asma) Allah, yaitu al-Fathir. Nabi Muhammad SAW
ketika berdoa terkadang menyebut asma Allah dengan al-Fathir, yaitu Zat Pencipta,
sebab hanya Allah yang menciptakan jagat raya ini. Konsep fitrah di sini
diartikan dengan “penciptaan”.
II.3 Makna Fitrah
a) Makna Etimologi
Fitrah, menurut Ibn Faris dalam
“Mu’jam Maqayis al-Lughah”, menunjukkan pada “terbukanya sesuatu dan melahirkannya”,
seperti orang yang berbuka puasa. Berdasarkan makna dasar tersebut maka
berkembang menjadi dua makna pokok; Pertama, fitrah berarti al-insyiqaq atau
al-syaqq yang berarti al-inkisar (pecah atau belah). Arti ini diambil dari lima
ayat yang menyebut kata fitrah yang objeknya ditujukan pada langit saja.
Kedua, fitrah berarti al-khilqah,
al-ijad, atau al-ibda’ (penciptaan). Arti ini terdapat pada 14 ayat yang
menyebut kata fitrah. Enam ayat di antaranya berkaitan dengan penciptaan
manusia, sedangkan yang lain berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi.
b) Makna Nasabi
Pemaknaan fitrah dari makna
nasabi diambil dari beberapa ayat dan hadits Nabi. Pada ayat dan hadits
tersebut para mufassir sangat beragam dalam menentukan maknanya. Di antaranya
adalah :
Pertama, Fitrah berarti suci
(al-thuhr). Menurut al-Awzaiy, fitrah memiliki makna kesucian. Pemaknaan ini
didukung oleh hadits nabi yang penulis sampaikan sebelumnya, yakni (1) kata
fitrah dalam hadits kedua memiliki makna kesucian fisik manusia. Barangsiapa
yang melakukan sepuluh hal tersebut maka fisiknya fitri (suci). (2) kata fitrah
dalam hadits ketiga memiliki makna suci, yaitu kesucian harta dan jiwa setelah
melaksanakan zakat fitrah. Barangsiapa yang telah mengeluarkan zakat fitrah
maka harta dan jiwanya menjadi fitri (suci).
Kedua, fitrah berarti potensi
ber-Islam (al-din al-Islamiy). Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Hurairah
bahwa fitrah berarti beragama Islam. Sabda Nabi SAW :
“Bukankah aku telah menceritakan
kepadamu tentang sesuatu yang Allah telah menceritakan kepadaku dalam
kitab-Nya, bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi
menjadi orang-orang Islam yang suci.” (H.R. Iyadh ibn Khumair)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
fitrah merupakan potensi bawaan setiap manusia. Potensi bawaan ini ada sejak
zaman permulaan penciptaan yaitu pada alam perjanjian (‘alam al-mitsaq).
Potensi bawaan itu berupa agama Islam, yaitu mengenal (ma’rifah) dan mencintai
(mahabbah) kepada Allah SWT. Potensi ini tidak hanya diberikan pada keturunan Muslim,
tetapi juga diberikan kepada seluruh manusia, termasuk keturunan kafir.
Ketiga, fitrah berarti mengakui
ke-Esa-an Allah (tauhid Allah). Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid,
atau paling tidak, ia cenderung untuk mengesakan Tuhan dan berusaha secara
terus-menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara
fitrah telah memiliki watak dan rasa tauhid walaupun masih dalam alam ruh. Hal
ini telah digambarkan dalam dialog antara Allah dan ruh, yaitu :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhan-mu?
Mereka menjawab, Tentu (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Q.S.
al-A’raaf:172)
Keempat, fitrah berarti kondisi
selamat (al-salamah) dan kontinuitas (al-istiqomah). Pemaknaan ini dilontarkan
oleh Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar. Dalam hadits qudsi dinyatakan :
“Sesungguhnya Aku (Allah)
menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (continue dan selamat). Maka
syaitanlah yang menarik pada keburukan.” (H.R. Ahmad ibn Hambal dari ‘Iyadh ibn
Humair)
Kelima, fitrah berarti perasaan
yang tulus (al-ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Di antara
sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam menjalankan segala aktifitas.
Konsep inilah yang dimaksud dengan ikhlas sehingga dapt disimpulkan bahwa
ketidakikhlasan merupakan penyelewengan fitrah manusia. Nabi SAW bersabda :
“Tiga perkara yang menjadikan
keselamatan, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah yang manusia diciptakan darinya,
shalat berupa agama, dan taat berupa perisai.” (H.R. Abu Hamid dari Mu’az)
Keenam, fitrah berarti
kesangggupan untuk menerima kebenaran (isti’dad li qabul al-haq). Secara fitri
manusia lahir cenderung berusaha mencari kebenaran, walaupun pencarian itu
masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Ketujuh, fitrah berarti potensi
dasar manusia atau perasaan untuk beribadah (syu’ur li al-‘ubudiyah) dan
makrifat kepada Allah. Dalam pemaknaan ini, aktifitas manusia merupakan tolak
ukur pemaknaan fitrah. Fitrah merupakan watak asli manusia, sedangkan watak itu
terlihat melalui aktifitas
tertentu, yaitu ibadah.
Kedelapan, fitrah berarti
ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan (al-sa’adat) dan
kesengsaraan (al-syaqawat) hidup. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Abbas, Ka’ab
ibn Quradhiy, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad ibn Hambal.
Kesembilan, fitrah sebagai tabiat
atau watak asli manusia (thabi’iyah al-insan). Watak atau tabiat menurut Ikhwan
al-Shafa adalah daya dari daya nafs kulliyah yang menggerakkan jasad manusia.
Makna inilah yang lebih tepat untuk mengungkap pembagian, natur, dan aktifitas
fitrah.
Kesepuluh, fitrah berarti
sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan untuk setiap manusia sebelum dilahirkan.
Bentuk-bentuknya adalah asma’ al-husna yang berjumlah 99 nama-nama terindah.
Firman Allah SWT :
“Dan Aku meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.S. Al-Hijr:29)
c) Makna Istilah menurut Ahli
Pendidikan Islam
Ada beberapa pengertian tentang
fitrah yang dikemukakan oleh para ahli. Masing-masing definisi memiliki sudut
pandang yang berbeda-beda.
Pertama, definisi yang
dikemukakan oleh al-Raghib al-Asfahaniy :
”Fitrah adalah mewujudkan dan
mengadakan sesuatu menurut kondisinya yang dipersiapkan untuk melakukan
perbuatan tertentu.”
Pengertian ini masih bersifat
umum dan tidak mencerminkan kejelasan maksudnya. Fitrah dianggap sesuatu
(al-sya’i). Sesuatu di sini belum jelas apakah berupa disposisi (al-isti’dad),
karakter (al-thab’u), sifat (al-sifat), atau konstitusi (al-jibillat). Semuanya
masih bersifat umum. Fitrah juga diciptakan menurut kondisinya (al-hai’at).
Kondisi di sini entah berupa keselamatan, istiqomah, keislaman, kekufuran, dan
sebagainya. Semua masih bersifat umum. Fitrah juga dipersiapkan untuk melakukan
“perbuatan sesuatu”. Perbuatan tertentu ini entah berupa berpikir, berbuat,
atau berperasaan. Semuanya juga masih belum jelas. Karena itu perlu dicarikan
lagi pengertian yang lain.
Kedua, definisi yang dikemukakan
oleh Ibnu Manzhur dan al-Jurjaniy :
“Fitrah adalah kondisi konstitusi
dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama.”
Pengertian kedua ini menjelaskan
dan membatasi pengertian fitrah yang pertama. Dalam pengertian ini, fitrah
dianggap sebagai suatu kondisi (halat) konstitusi dan watak manusia. Konstitusi
manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Demikian juga watak manusia memiliki
kondisi baik dan buruk. Kondisi ini sudah ada sejak awal penciptaan manusia.
Tujuan penciptaan konstitusi dan watak tersebut adalah agar manusia mampu
menerima agama. Sedangkan agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah
al-Islam. Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan memiliki potensi
untuk menerima agama. Agama di sini tidak terbatas pada agama Islam saja,
melainkan juga mencakup agama-agama yang lain. Konstitusi dan watak yang
selamat adalah yang menerima agama Islam, sebab agama Islam-lah yang merupakan
agama fitri manusia.
Ketiga, definisi yang dikemukakan
oleh Abu Ayyub ibn Musa al-Husain :
“Fitrah adalah sifat yang
digunakan untuk mensifati semua yang ada (di dunia) sewaktu awal
penciptaannya.”
Definisi ketiga ini membatasi
makna fitrah sebagai suatu “sifat”. Sifat di sini berlaku untuk semua makhluk
di alam raya. Misalnya malaikat memiliki sifat (fitrah) yang baik, taat,
bertasbih, dan tidak pernah melanggar aturan Allah SWT. Sedangkan syaitan
berfitrah sebagai makhluk yang buruk, sesat, durhaka, dan selalu menyesatkan
manusia. Hewan berfitrah sebagai makhluk yang berinsting dan berhawa nafsu.
Sementara manusia berfitrah sebagai makhluk yang memiliki semua fitrah yang
dimiliki oleh semua yang ada di alam raya ini. Fitrah atau sifat ini telah
diciptakan oleh Allah SWT sejak awal penciptaannya.
Keempat, definisi yang
dikemukakan oleh Muhammad ibn Asyur yang dikutip oleh M. Quraish Shihab :
“Fitrah adalah suatu sistem yang
diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang khusus untuk jenis
manusia adalah apa yang diciptakan Allah padanya yang berkaitan dengan jasad
dan akal (ruh).”
Dalam definisi tersebut, nampak
bahwa fitrah memiliki ruang lingkup yang luas. Fitrah mencakup totalitas apa
yang ada di dalam alam dan manusia. Fitrah yang berada di dalam manusia
merupakan substansi yang memiliki organisasi konstitusi yang dikendalikan oleh
sistem tertentu. Sistem yang dimaksud terstruktur dari komponen jasad dan ruh.
Masing-masing komponen ini memiliki sifat dasar, natur, watak, dan cara kerja
tersendiri. Semua komponen itu bersifat potensial yang diciptakan oleh Allah
sejak awal penciptaannya. Aktualitas fitrah menimbulkan tingkah laku manusia
yang disebut dengan “kepribadian”. Kepribadian inilah yang menjadi ciri unik
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
• al-Ashfahaniy, Al-Raghib.1972.
Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Quran. Beirut:Dar al Fikr.
----- 1872. Mu’jam Mufradat
Alfazh al-Quran. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Baghdadiy, Alau al-Din Ali
Mahmud. Tafsir Khazin Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Beirut:Dar
al-Fikr.
• al-Bukhari, Imam. Shahih
al-Bukhari. Semarang:Thaha Putra.
• al-Darimiy, Ibn Muhammad ‘Abd
Allah. Sunan al-Darimiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Husain, Abu al-Baqa’ Ayyub
ibn Musa.1992. Al-Kulliyah; Mu’jam fi al-Mushthalah wa al-Furuq al-Lughawiyah.
Beirut:Muassasah al-Risalah.
• al-Jurjaniy, Syarif Ali ibn
Muhammad. 1988. Kitab al-Ta’rifat. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
• al-Malikiy, Ahmad Shawiy. Hasyiyah
‘Alamah Shawiy ‘ala Tafsir Jalalain. Jakarta:Dar al-Ahya’ wa Quthub.
• al-Maraghiy, Musthafa. Tafsir
al-Maraghiy. Libanon:Dar al-Ahya’.
• al-Nasa’I, Imam.1930. Sunan
al-Nasa’I. Beirut:Dar al-Fikr.
• Al-Qurthubiy, Ibnu ‘Abd Allah
Muhammad ibn Ahmad Anshari. Tafsir al-Qurthubiy. Cairo:Dar al-Sa’ab.
• al-Raziy, Muhammad Fahr al-Din.
Tafsir Fahr al-Raziy al-Masyhur bi al-Tafsir Mafatih al-Ghaib. Beirut:Dar
al-Fikr.
• al-Shafa, Ikhwan. 1957. Rasail
Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-Wafa. Beirut:Dar Sadir.
• Faidh Allah, Ilm Zadah. Fath
al-Rahman li Thalab Ayat al-Quran. Indonesia:Maktabah Dahlan.
• Ibn Zakariyah, Ibn Faris, Abi
al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Cairo:Maktabah Khanjiy.
• Kuntowijoyo. 1991. Paradigma
Islam; Interpretasi Untuk Aksi. Bandung:Mizan.
• Langglung, Hasan. 1995.
Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor:Hizbi.
• Manzhur, Ibnu. Lisan
al-‘Arab.1992.Beirut:Dar al-Taras al-‘Arabiy.
• Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan
Kepribadian Islam. Jakarta:Darul Falah.
• Muslim, Imam.1981. Shahih
Muslim bi Syarh Imam al-Nawawiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• Rahman, Munawwwar. 1995.
Kontekstual Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:Paramadina.
• Sa’ad, Al-Thablawiy
Mahmud.1984. Al-Tashawwuf fiy Taras ibn Taimiyat. Mesir:al-Hai’at al-Mishriyyat
al-‘Ammat li al-Kitab.
• Shihab, M. Quraish. 1996.
Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung:Mizan.
• Tim Depag RI. 1987. Al-Quran
dan Terjemahnya. Jakarta:Srajaya.
Peran Lingkungan dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Manusia adalah “makhluk sosial”.
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut.
Khalaqa al-insaana min ‘alaq bukan hanya diartikan sebagai “menciptakan manusia
dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, akan tetapi
juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung
kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”.
Dari hal itu dapat dipahami bahwa
manusia dengan seluruh perwatakan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian
dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan. Faktor inilah yang
mempengaruhi manusia dalam berinteraksi dengannya semenjak ia menjadi embrio
hingga akhir hayat.
Kemudian, lingkungan yang nyaman
dan mendukung bagi terselenggaranya suatu pendidikan sangat dibutuhkan dan
turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.
Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan
sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Meskipun lingkungan tidak
bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun lingkungan merupakan
faktor yang sangat menentukan dan pengaruhnya sangat besar terhadap anak didik.
Sebab, bagaimanapun seorang anak tinggal dalam suatu lingkungan, disadari atau
tidak, lingkungan tersebut akan mempengaruhi anak tersebut. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah saw. dari riwayat Abu Hurairah:
Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan ‘fitrah’. Namun, kedua orang tuanya (mewakili lingkungan) mungkin dapat
menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam
mengakui potensi lingkungan yang pengaruhnya dapat sangat kuat sehingga sangat
mungkin dapat mengalahkan fitrah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu
merupakan tempat terjadinya proses pendidikan, yang secara umum lingkungan
tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga sangat diperlukan
pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian, orang tua harus menyadari pentingnya
sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus
memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan
sekolah tersebut.
Sementara itu, sekolah atau
madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah
dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang
profesional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam.
Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta
didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu pula, masyarakat dituntut
perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap
pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas
pendidikan yang ada di sekitarnya. Kemudian, ketiga lingkungan pendidikan
tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah
pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti
itu, diharapkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam komunitas masyarakat tersebut
dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan
masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur. []
[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 421-422.[2]Omar Muhammad
al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 136.
Pendidik dalam Pendidikan Islam
guru2Dalam konteks pendidikan
Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris,
dan mursyid. menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks
Islam, Kelima istilah ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas
masing-masing.
Murabbi adalah: orang yang
mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur
dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya.
Mu’allim adalah: orang yang
menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya sertamenjelaskan fungsinya dalam
kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan
transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
Mu’addib adalah: orang yang mampu
menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan.
Mudarris adalah: orang yang
memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat ,
minat dan kemampuannya.
Mursyid adalah: orang yang mampu
menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan
dan konsultan bagi peserta didiknya.
DEFINISI PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana teori Barat, pendidik
dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik
potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti juga orang
dewasa yang bertanggung jawab member pertolongan pada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu
berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu melaksanakan tugas
sebagai makhluk social dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidik pertama dan utama adalah
orangtua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan
anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung kepada
pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung merupakan
cermin atas kusuksesan orangtua juga. Firman Allah SWT.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS.
At-Tahrim: 6)
Pendidik disini adalah mereka
yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran
tertentu di sekolah. [3] orangtua sebagai pendidik pertama Dan utama terhadap
anak-anaknya, tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya.
Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan efisiensi pendidikan
tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Oleh karena itu,
anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah. Penyerahan peserta didik ke
lembaga sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orangtua sebagai
pendidik yang pertama dan utama, tetapi orangtua tetap mempunyai saham yang
besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.
SYARAT SAH PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan,
bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam
pendidikan Islam apabila memenuhi dua criteria berikut :
1. Alim yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan
syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu
yang komprehenshiv tidak setengah-setengah.
2. Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa
besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab
pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya
namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh
peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik
atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima ank didik namun justru
pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan[4]
KEDUDUKAN PENDIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidik adalah spiritual father
(bapak rohani), bagi peserta didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu,
pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu,
pendidik memiliki kedudukan tinggi. Dalam beberapa Hadits disebutkan: “Jadilah
engkau sebagai guru, atau pelajar atau pendengar atau pecinta, dan Janganlah
engkau menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”. Dalam Hadits
Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebi berharga
ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat
dengan derajat seorang Rasul. Al-Syawki[5] bersyair:
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang
guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa
Hadits Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik
disebut sebagai orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun
(perhatikan QS. At-Taubah:122).selanjutnya Al-Ghazali menukil dari perkataan
para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang
yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya.
Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab:
pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik
binatang buas maupun binatang jinak)[6]kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.
TUGAS PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN
ISLAM
Menurut al-Ghazali, tugas
pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta
membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan
pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa , pendidik
diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan
digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang
karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.
Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai
kepribadian yang utuh, yang
karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan
oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya seorang pendidik
bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau
kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan,
pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas
pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan
program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri
dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik
pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah
SWT menciptakannya.
3. Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan
kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap
berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang
dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik
dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu
dapat berupa:
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memerhatikan:
kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik.
2. Membangkitkan gairah peserta didik
3. Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan yang
mempengaruhi proses mengajar
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75.
[2] Suryosubrata B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan,
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.26
[3] Ahmad Tafsir, Op.cit., h.75
[4] Ahmad Ar Rifa’I, Takhyirah Mukhtashor, Tanpa Tahun, hal.10
[5] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasr Pokok Pendidikan Islam,
terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 135-136
[6] Binatang buas (subu’iyah)menurut al-Ghazali sebagai natur
dasar struktur al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari
diri dari segala yang membahayakan, dengan cara menyerang , membunuh, merusak,
menyakiti, dan membuat yang lain menderita. Sedangkan binatang jinak
(bahimiyyah) merupakan natur dasar struktur al-syahwat, yaitu suatu daya yang
berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan.syahwat
merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki natur atau naluri dasar seks bebas,
erotisme, narsisme, dan segala tindakan untuk pemuasan birahi. Lebih lanjut
baca: Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2006), h. 109-110.
[7] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya ‘ulum al-Din, terj.
Ismail ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979), h. 65, 68, 70.
[8] Roestiyah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina
Aksara, 1982), h. 86.
PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN
ISLAM
A. PENGERTIAN PESERTA DIDIK
Secara etimologi peserta didik adalah
anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik
adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga
masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses
pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah
mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental
maupun fikiran.
Sebagai
individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut
masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju
kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada
pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun
saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik
merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga
menjadi suatu produk pendidikan.
Berdasarkan
hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki
eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah,
keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini
peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak
disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran
tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak
hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian
buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan
diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan
keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan,
arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau
kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik
harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik tersebut.
a. ciri – ciri peserta didik :
kelemahan dan ketak
berdayaannya
berkemauan keras untuk berkembang
ingin menjadi diri sendiri (memperoleh
kemampuan).
b. kriteria peserta didik :
Syamsul nizar
mendeskripsikan enam kriteria peserta
didik, yaitu :
peserta didik bukanlah
miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
peserta didik memiliki periodasi
perkembangan dan pertumbuhan
peserta didik adalah makhluk Allah yang
memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun
lingkungan dimana ia berada.
peserta didik merupakan dua unsur utama
jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani
memiliki daya akal hati nurani dan nafsu
peserta didik adalah manusia yang memiliki
potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Didalam proses pendidikan seorang
peserta didik yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem
pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang
perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu
sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal
lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan
lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada
lingkungan tersebut.
Sehingga agar
seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian dan dapat
mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu memahami
peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang harus
dipahami adalah :
kebutuhannya
dimensi-dimensinya
intelegensinya
kepribadiannya.
Allah SWT
berfirman :
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
salah seorang dari kedua wanita
itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. Al – Qashas 28:26).
Tiap-tiap dari kalian adalah
penggembala, dan tiap-tiap orang diantara kalian akan bertanggung jawab tentang
gembalanya. (al-hadits).
B. KEBUTUHAN-KEBUTUHAN PESERTA
DIDIK
Pada sub bab
sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk mendapatkan keberhasilan dalam
proses pendidikan maka seorang pendidik harus mampu memahami karakteristik
seorang peserta didik itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya adalah
kebutuhan peserta didik.
Kebutuhan
peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik
untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi
atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut buku yang ditulis
oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu
:
1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang
didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik
ini terbagi menjadi tiga tahapan :
peserta didik pada
usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada
usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung
dengan peraihan pendidikan formal
peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa
ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada
kedewasaan.
Pada masa
perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan perubahan dan
perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta didik
mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas) yang
secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.
Disamping
memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu memberikan
bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik kepada arah kedewasaan
yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat
mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam
perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.
2. Kebutuhan Sosial
Secara
etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata sosial
selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui oleh seorang peserta
didik dalam proses pendidikan.
Dengan
demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan lansung dengan
masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat
lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga
supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya,
guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik
dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.
Secara singkat
dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan untuk memberi
pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah seorang
individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam lingkungan
masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (Q.S.
Al-Hujarat, 49:13)
3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan
mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk
mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh
peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap
kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan
masyarakat.
Dalam proses
memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin menjadi orang
yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan
dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat.
4. Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang peserta didik telah
melewati masa anak dan memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu
mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan karena ketika
peserta telah menjadi seorang remaja, dia akan memiliki ambisi atau cita-cita
yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan
menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang dipilihnya.
Karena
pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah yang menyebabkan
para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari cara pandang mereka
akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut.
Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk
menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan
rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika
seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya
kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
5. Kebutuhan Untuk Berprestasi
Untuk
mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu mendapatkan kebutuhan
mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal
tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta
didik telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta
didik akan mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal
ini lah yang akan menuntutnun langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini
tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena kebutuhan ini sangatlah
berpengaruh akan pembentukan mental dan prestasi dari seorang peserta didik.
Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua
akan sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan
prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan
menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap mental peserta didik. Di
dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih sayang paling indah adalah
kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim selalu berlomba-lomba untuk
mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia tersebut
mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar pendidikan
akan pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.
7. Kebutuhan Untuk Curhat
Ktika seorang peserta didik menghadapi masa
pubertas, meka seorang peserta didik tersebut tengah mulai mendapatkan
problema-probelama keremajaan. Kebutuhan untuk curhat biasanya ditujukan untuk
mengurangi beban masalah yang dia hadapi. Pada hakekatnya ketika seorang yang
tengah menglami masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi
atau curhat. Tindakan ini akan membuat seorang peserta didik merasa bahwa apa
yang dia rasakan dapat dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak
memiliki kesempatan untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini
akan membentuk sikap tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang
makin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik
untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
8. Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada
hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak
menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan,
pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah
yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena
terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan filsafat pada
dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari bagaimana dia
bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat erat kaitannya
dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia untuk mendapatkan
dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup. Sehingga tidak
seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
Agama adalah
fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia, sehingga tatkala
seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki rasa iman. Namun
rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia peserta didik.
Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka iman tersebut
akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya, siapa yang
dapat melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan kepada saya.
Namun iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.
Pendidikan agana disamping
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuhan
primer maupun skunder, maka penekanannya adalah pemenuhan kebutuhan anak didik
terhadap agama karena ajaran agama yang sudah dihayati, diyakini, dan diamalkan
oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya. ttur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& zNù=Ïèø9$# üÏ%©!$# tAÌRé& øs9Î) `ÏB Îi/¢ uqèd ¨,ysø9$# üÏôgtur 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÏÈ
Dan orang-orang yang diberi ilmu
(ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa
lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).
C. DIMENSI – DIMENSI PESERTA
DIDIK
Pada
hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa
yang akan datang (kedewasaan).
Widodo
Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam Islam, secara
garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam
bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian
yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk
memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan
akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar
firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna
dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.
Didalam Sub
Bab ini penulis hanya akan membahas 7
dimensi saja. Adapun ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi
akal, dimensi keberagamaannya, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni,
dan dimensi sosial.
1. Dimensi Fisik (Jasmani)
Fisik manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik. Manusia sebagai
peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti
hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini
dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan
hanya memiliki nafsu dan insthink bukanya akal.
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. Attin :4).
Antara manusia
dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan biotik manusia dan
hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama, yaitu tercipta dari
inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen abiotik itu oleh Allah
SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan sebuah energi kehidupan
yang berupa ruh.
Ramayulis,
dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang menyatakan bahwa daya hidup
yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat bergantung pada
konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan
saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut, dan sebagainya.
2. Dimensi Akal
Ramayulis
dalam bukunya ia mengambil pendapat al – Ishfahami yang membagi akal menjadi
dua macam yaitu :
Aql Al-Mathhu’ : yaitu
akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah Illahi.
Aql al-masmu : yaitu akal yang merupakan
kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.[9] Akal ini tidak
dapat dilepaskan dari diri manusia, karena digunakan untuk menggerakkan akal
mathhu untuk tetap berada di jalan Allah.
Akal memiliki
fungsi sebagai berikut :
Akal adalah penahan
nafsu.
Akal adalah pengertian dan pemikiran yang
berubah-ubah dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak jelas maupun yang tidak
jelas.
Akal adalah petunjuk yang membedakan
hidayah dan kesesatan.
Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
Adalah pandangan batin yang berpandangan
tembus melebihi penglihatan mata
Akal adalah daya ingat mengambil dari masa
lampau untuk masa yang akan dihadapi.
Akal pada diri
manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar
dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat,
wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi
dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu
mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang
positif.
3. Dimensi Keberagaman
Manusia sejak lahir kedunia telah
menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang
percaya akan adanya tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam
diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan
ketika ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin
mengatakan bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah manusia
mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan akan adanya tuhan
sejak lahir. Dalam Ayat Al-qur’an ditegaskan :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”
mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
(Al – A’raf : 172)
Berkaitan
dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki tiga implikasi
dasar pada diri manusia yg didasarkan dari adanya satu kesamaan dari jutaan
perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :
impikasi yang
berkaitan dengan pendidikan di masa depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal
mungkin dengan tidak mendikotomikan materi
tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu
insan kamil yang akan berhasil jika manusia menjalankan tugasnya sebagi
abdullah dan kholifah
muatan materi dan metodologi pendidikan,
diadakan spesialisasi dengan metode
integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.
4. Dimensi Akhlak
Kata akhlak
dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam akhlak
sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak
tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
Akhlak menurut
pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan
ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia.
Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan
langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.
Akhlak dalam
islam memiliki tujuh ciri, yaitu :
bersifat menyeluruh
atau universal
menghargai tabiat manusia yang terdiri dari
berbagai dimensi
bersifat sederhana atau tidak
berlebih-lebihan
realistis, sesuai dengan akal dan kemampuan
manusia
kemudahan, manusia tidak diberi beban yang
melebihi kemampuannya
mengikat kepercayaan dengan amal,
perkataan, perbuatan, teori, dan praktek
tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip
akhlak umum.
Pendidikan
akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan tujuan untuk
membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana, sempurna,
sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu disadari bahwasannya
pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada diri peserta
didik.
5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Tidak jauh
berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani dalah adalah dimensi yang sangat
penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan)
harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa
aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna debelum ditiupkan
oleh Allah sebagian ruh baginya. Allah SWT berfirman :
#sÎ*sù ¼çmçF÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ
Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud(Al – hijr : 29).
Menurut Al-
Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al- nafs. Al-ruh
adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, tuhan, dan mencapai ilmu
pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia
serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia untuk menjalankan
perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda dengan makhluk lainnya dengan kata lain
pembeda tingkatan manusia dengan makhluk lain yang sama-sama memiliki al-nafs seperti halnya hewan dan tumbuhan.
Menurut
pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga dengan sifat yang
dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang
setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang
serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan untuk
mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan
demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat berkembang
ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.
6. Dimensi Seni (Keindahan)
Seni merupakan
salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga senia dalam
diri manusia harus lah dikembangkan. seni dalam diri manusia merupakan sarana
untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah
untuk beribadah kepada Allah dan menajalankan fungsi kekhalifahannya serta
mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan
keridhoan Allah SWT.
Dalam agama islam Allah telah
menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an. Kitab suci Al-qur’an memiliki
kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah. Hal ini karena A-lqur’an
adalah ekspresi dari Allah SWT untuk memberikan kebijakan dan pengetahuan
kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang terdapat di dalam
Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran Illahi didalam mu’jizat yang
bersifat universal ini. Allah SWT berfirman :
Dan kamu memperoleh pandangan
yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS. An-nahl : 6)
Keindahan
selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia. Semakin tinggi iman
yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat merasakan keindahan akan
segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
7. Dimensi Sosial
Dimensi sosial
bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun
lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah
keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk
kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui
bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat
pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
Dalam dimensi
sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang dinamis antara
keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial yang kuat akan
mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong sesama serta
menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT.
Nabi SAW bersabda :
Demi allah tidak beriman, demi
Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang tidur kekenyangan,
sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.
D. TINGKAT INTELEGENSI PESERTA
DIDIK
Secara bahasa
Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman, kecepatan, kesempurnaan
sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI)
intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan
mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.
Berdasarkan
pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik adalah kecerdasan
yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat
kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan
islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
kecerdasan intelektual
kecerdasan emosional
kecerdasan spiritual
Kecerdasan Qalbiyah.
1. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan
intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan tingkat
kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya
menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan
otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional
dengan yang lain.
Kecerdasan
intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses berfikir atau
kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam aspek ini manusia
dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau memutuskan
sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika). Secara umum
kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :
Tingkat Inteltual
Super normal
Normal dan sedikit dibawah normal
Sub Normal
Normal atau subnormal,
IQ 90 – 110
Berdorline, IQ 70 – 90
Debil, IQ 50 – 70
Insibil, IQ 25 – 50
Idiot, IQ 20 – 25”
Genius, IQ diatas 140
Gifted, IQ 130 – 140
Superior, IQ 110 – 130
Menurut
pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, mengatakan
bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai berikut
:
berkelainan sosial
berkelainan jasmani
berkelainan mental
anak nakal/ delinquen
anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari
masyarakat
anak timpang
anak berkelainan penglihatan
anak berkelainan pendengaran
anak berkelainan bicara
anak kerdil
tingkat kecerdasan
rendah
tingkat kecerdasan tinggi.
2. Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel
Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotovasi diri sendiri,
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[16]
Secara umum
kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan satu sama
lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan untuk
berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang
dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong
kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan
dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri
untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan
adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa
malas yang timbul pada dirinya.
Ari Ginanjar
mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai
berikut :
Konsistensi
(istiqamah)
Kerendahan hati (tawadhu’)
Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
Keseimbangan (tawazun)
Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut
disebut dengan akhlaq al karimah.[17] Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan
seseorang dari keinginan-keinginan, yang bersifat negatif, dan sebaliknya
mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang posistif.
Solovery
menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
respon yang cepat
namun ceroboh
mendahulukan perasaan daripada fikiran
realitas simbolik yang seperti anak-anak
masa lampau diposisikan sebagai masa
sekarang
realitas yang ditentukan oleh keadaan.
Berdasarkan
ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja
secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran
yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong
peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang
monoton (tidak berkembang).
Jalaludin
Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif,
mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus
melakukan hal-hal sebagai berikut :
musyarathah, berjanji
pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk
muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku
sehari-hari
muhasabah, melakukan perhitungan baik dan
buruk yang pernah dilakukan
mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan
yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri.
3. Kecerdasan Spiritual
Secara
etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan
spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi
kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
Ketika
seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang bersifat
duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat memaknai
hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau memilih
keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
Disisi
keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah
pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat
kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka manusia
secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal
tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang
paling tinggi.
Kecerdasan spiritual memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
Bersikap asertif,
memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan
Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
Berusaha mengadakan inovasi, selalu
berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu yang
lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
Berfikit lateral, berfikir akan adanya
sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan manusia. Hal ini ditandai
dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang dimiliki
oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan dan mampu
menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat
merasakan sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual
dapat dikembangkan dengan peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan
batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa
seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
Secara
etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian
istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu
dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat
menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
Kecerdasan
kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan agama dalam
dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari
kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan agama maka
secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang melampaui
kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Ramayulis
dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah :
respon yang intuitif
ilabiab
lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan
dari pada nilai-nilai kemanusiaan
realitas subyektif diposiskan sama kuatnya
posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
didapat dengan pendekatan penerapan
spiritual keagamaan dan pensucian diri.
E. ETIKA PESERTA DIDIK
Etika peserta
didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika
peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada
sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :
Belajar dengan niat
ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang
rendah dan watak yang tercela.
Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Ad-dzariat :56)
Tiada sekutu bagiNya; dan
demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al-An’am :163)
Bengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi.
äotÅzEzs9ur ×öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ
Dan Sesungguhnya hari kemudian
itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(Adh Dhuha : 4)
Bersikap tawadhu’
(rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan
pendidikannya.
Menjaga pikiran dan pertantangan yang
timbul dari berbagai aliran
Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik
untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
Belajar dengan bertahap dengan cara memulai
pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian
hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi
ilmu pengetahuan secara mendalam.
Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu
pengetahuan yang dipelajari.
Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum
memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai
pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam
kehidupan dinia akherat.
11. Anak didik harus tunduk
pada nasehat pendidik.
Agar peserta
didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta
didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :
Peserta didik
hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk
menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan.
Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari
dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
Setiap peserta didik wajib menghormati
pendidiknya.
Peserta didik hendaknya belajar secara
sungguh-sungguh dan tabah.
Namun etika
peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik
dalam menuntut ilmu, yaitu :
Peserta didik harus
membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu,
sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
Peserta didik harus mempunyai tujuan
menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan
diri kepada Allah.
Seorang peserta didik harus tabah dalam
memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan
yang datang.
Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu
dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru
dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu dkk. Ilmu Pendidikan
Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam.
Kalam Mulia. Jakarta. 2006.
Supriono,Widodo. Filsafat Manusia
dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta, 1996.
Vandha. Pendidikan Islam dan
Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.
[1] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan
Cetakan ke II, PT Rineka Cipta, Jakarta,
2006, Hal 40
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta,
2006, Hal. 77
[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42
[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[7] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi
Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, Hal. 171
[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[10] Ibid., Hal. 86
[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[12] Ibid., hal 89 – 90
[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat al-islamiyat,
kairo, 1994, Hal. 16
[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97
[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46
[16] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan
Cetakan Ke 9 Gramediya, Jakarta, 1999,
Hal. 45
[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient :
Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199
[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia,
Jakarta, 2004, Hal. 98
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119
[23] Ibid, Hal 120
Komentar
Posting Komentar