Langsung ke konten utama

Definisi Pendidikan Islam
Pengertian tentang pendidikan, bila dikaitkan dengan Islam, maka menjadi “Pendidikan Islam”. Nama baru ini tentunya memiliki pengertian tersendiri dari pengertian-pengertian di atas, walau dalam kenyataanya masih dapat ditarik benang merah diantara beberapa pengertian tersebut. Beberpa pengertian tentang pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa: “pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilanya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkanya untuk masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatanya, manis dan pahitnya”.
Hasan Langgulung merumuskan pendidikan islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”.
Menurut Syah Muhammad A. Naquib Al-Attas, pendidikan Islam ialah usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Sehingga, membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.
Sedangkan menurut M. Arifin, pendidikan Islam adalah system pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupanya sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadianya.
Dari pengertian-pengertian diatas, dapatlah kita mengambil benang merah pengertian pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada anak didik untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya pemindahan pengetahuan kepada anak didik, namun perlu diintegrasikan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, sehingga dapatlah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian muslim yang mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.
[1] Yusuf Al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs.Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) h.157
[2] Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1980) h.94
[3] Drs. H. Hamdani Ihsan dan Drs. H. A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h.16
[4] Op.Cit, M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, h.10

A. Dasar- Dasar Pendidikan Islam
Islam merupakan agama universal yang diwahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia diseluruh muka bumi ini sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat kelak. Untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan tersebut diperlukan adanya suatu usaha, yang merupakan kewajiban bagi manusia dan sebagai pelaksanaannya manusia harus berpedoman pada tata aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, karena dalam melakukan suatu perubahan kea rah yang lebih baik, manusia sendiri yang melakukannya.
Pendidikan adalah suatu usaha sekaligus proses mencapai perubahan dan perbaikan dalam mencapai kebahagiaan hidup yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dari sejak lahir sehingga akhir hayat. Oleh karena tugas yang cukup berat dan mulia itu maka diperlukan suatu landasan, dasar atau fondasi tempat berpijak sehingga apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak menyimpang dan pindah jalur, akan tetapi menjadi jelas.
Menurut Zakiyah Darajat “landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad.Karena itu pendidikan yang memiliki permasalahan yang befitu kompleks dan memiliki proses yang panjang, hendaklaha dia melepaskan landasannya baik idealnya mau[un operasionalnya.
Landasan pendidikan Islam yait Al-Qur’an dan Sunnah memiliki muatan dan nilai-nilai yang sangat kaya untuk digali serta menjadikannya pijakan dalam merealisasikan tujuan pendidikan dalam Islam.
Al-Qur’an sebagai dasar utama hidup seorang mulim telah banyak memberika dalil, pedoman serta isyarat-isyarat dalam menunjukan betapa pentingnya ilmu pengetahuan serta bagaimana melakukan pendidikan dan pembinaan umat manusia. Firman Allah SWT dalam surat Al-Mujadalah ayat 11:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. ...... (QS. Al-Mujadalah : 11)
Dalam tafsir-ayat-ayat hukum, ayat diatas dijelaskan, bahwa orang-orang yang diberi ilmu diberi derajat yang tinggi, karena mereka memiliki ilmu, sekaligus dapat mengamalkannya, orang-orang yang mempunyai ilmu yang dibarengi amal lebih tnggi derajatnya dari pada orang-orang yang beramal tanpa ilmunya, walaupun yang menjalankan sangat saleh, yang disebut ulama adalah orang yang tidak menegerjakan segala perintah keculai berdasarkan keterangan dan dalil, oleh karena itu orang alim akan mendapat pengikut dalam amal perbuatannya yang berlainan sekali dengan orang jahil yang tdak akan mendapatkan pengikut, orang alim akan mengetahui tata cara mencegah dari pebuatan haram dan subhat, mengetahui hak Allah dan hamba-hamba-Nya, mengetahui tata cara khusu’ dalam menghambakan diri ibadah kepada Allah SWT.
B. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup itu sendiri. Sebab pendidikan Islam hanyalah salah satu yang digunakan oleh manusia untuk memeliahara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia, dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan nilai budaya dai satu generasi ke genari lain. Tetapi bukan hanya fungi pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan sendiri.
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, tujuan pendidikan Islam adalah “Apa yang dicanangkan oleh manusia diletakkannya sebagai pusat dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya”.
Bila mendidik dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir dari proses tersebut. Tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia.
Lebih terperinci lagi Yusuf Amir Feisal memaparkan tuujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdah.
2. Membentuk manusia muslim disamping dapat melaksanakan ibadah mahdhah dapat melaksanakan ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai orang perorangan atau sebagai anggota kemasyarakatan dalam lingkungan tersebut.
3. Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dalam rangka bertanggung jawab kepada Allah SWT penciptanya.

4. Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang siap dan trampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakat.
5. Mengembangkan tenaga ahli dibidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu Islam lainnya).
[1] Zakiyah darajat,Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992)cet.2, h: 19
[2] Abdurrahman An-Nahlawi, prinsip-prinsip Islam dalam kelarga, (bandung: dipenorogo, 1992), h: 160
[3] Yusuf Amir Feisal, “Reorientasi Pendidikan Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press 1995), cet 1, h: 94

HUKUMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM oleh Nisa Islami
    A. PEMBAHASAN
        1. Pengertian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam teori belajar (learning theory) yang banyak dianut oleh para behaviorist, hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang diharapkan.[7] Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah berkelahi adalah sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan dan jika tingkah laku ini dilakukan oleh seorang siswa maka salah satu cara untuk menghilangkan tingkah laku itu adalah dengan hukuman. Selain itu, mengerjakan tugas sekolah adalah sebuah tingkah laku yang diharapkan, dan jika seorang siswa lalai dan tidak mengerjakan tugas sekolah maka agar siswa itu dapat menampilkan tingkah laku yang diharapkan maka hukuman adalah satu cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir.[8] Misalnya, yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sanksi membuat paper. Sedangkan hukuman pukulan merupakan hukuman terakhir bilamana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut data diterapkan bila anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membahayakan saraf otak peserta didik, serta menjadikan efek negatif yang berlebihan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang artinya
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknyaK bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)
Paul Chanche mengartikan hukuman adalah
“The procedure of decreasing the likelihood of a behavior by following it with some azersive consequence”
(Prosedur penurunan kemungkinan tingkah laku yang diikuti dengan konsekuensi negatif)
Decreasing the likelihood yang dimaksud di sini adalah penurunan kemungkinan dan tingkah laku dan some aversive concequence adalah konsekuensi negatif atau dampak yang tidak baik baik si pelanggar. Sebagai contoh, Ani tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba (dari jam 18.00-19.00). Apabila tetap menonton maka Ani akan di hukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.  Tidak boleh menonton TV ketika maghrib tiba di sini sebagai prosedur atau aturan-aturan yang harus diikuti. Bentuk penurunan tingkah lakunya adalah boleh menonton TV selain di waktu itu, dan sebagai konsekuensi negatif apabila melanggar akan dihukum tidak boleh menonton TV selama 3 hari.
Jadi, hukuman di sini berlaku apabila seseorang merasa enggan untuk mengikuti suatu aturan yang berimbas pada penurunan tingkah laku.
Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman adalah:
“Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelasahan perbuatan atau tingkah laku anak menjadi sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungannya.”
Pendidik harus tahu keadaan anak didik sebelumnya dan sebab anak itu mendapat hukuman sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahannya. Baik terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungan anak didik atau norma yang terdapat dalam ajaran agama Islam.Dalam menggunakan hukuman, hendaknya pendidik melakukannya dengan hati-hati, diselidiki kesalahannya kemudian mempertimbangkan akibatnya.
Penggunaan hukuman dalam pendidikan Islam kelihatannya mudah, asal menimbulkan penderitaan pada anak, tetapi sebenarnya tidak semudah itu tidak hanya sekedar menghukum dalam hal ini hendaknya pendidik bertindak bijaksana dan tegas dan oleh Muhammad Quthb dikatakan bahwa : “Tindakan tegas itu adalah hukuman”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak) terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya agar tidak mengulanginya lagi dan menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
    2. Dasar Pemberian  Hukuman dalam Pendidikan Islam
Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran Islam, sesuai dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.
Ayat al-Qur’an yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
“Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, keudian jisa mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan merekan. (Q.S. An-Nisa: 34)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternative hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Di mana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan.
Demikian pula terhadap mendidik anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak didik. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu tidak belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan pukulan.
Adapun perintah mendidik anak, telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
“Dari Amr bin Syu’aib ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Saw pernah berkata suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan Pukullah jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Dawud)
Dari Firman Allah Saw dan hadist Nabi Muhammad Saw, kita dapat menjadikannya sebagai dasar hukum pemberian hukuman dalam pendidikan Islam.
    3. Tujuan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Apa sebenarnya tujuan orangtua dan pendidik ketika memberikan hukuman pada anak? Ini bukanlah persoalan yang ringan, karena dari beerapa kasus di awal pembahasan tadi, ternyata masih banyak orang yang menghukum anak dengan tujuan yang salah. Bahkan ada yang menghukum anak hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat saja. Dalam kondisi ini, Irawati Istadi mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak tidak lagi melakukan kesalahan.
M. Mgalim Purwanto mengklasifikasikan tujuan hukuman berkaitan dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman, yaitu:
    Teori Pembalasan
Menurut teori ini, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap pelanggaran yang telah dilakukan seseorang.
    Teori Perbaikan
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan yaitu untuk memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.
    Teori Pelindungan
Menurut teori ini, hukuman diadakan ntuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.
    Teori Ganti Kerugian
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu.
    Teori Menakut-nakuti
Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatannya yang melanggar itu sehingga ia akan selalu takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tiap teori itu masih belum lengkap karena masing-masing hanya mencakup satu aspek saja. Tiap-tiap teori tadi saling membutuhkan kelengkapan dari teori yang lain.
Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:
    Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini merupakan ancaman terhadap rasa aman yang merupakan kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.
    Memperkuat atau memperlemah respon negatif. Namun penerapannya harus didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal membrikan hukuman terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya.
    4. Macam-macam Hukuman dalam Pendidikan Islam
Ada beberapa pendapat dalam mengklasifikasikan hukuman, diantaranya adalah:
    Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis M. Ngalim Purwanto, ada beberapa pendapat yang membedakan hukuman menjadi dua macam, yaitu:
1)      Hukuman Preventiv, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak atau jangan terjadi pelanggaran. Jadi, hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan.
2)      Hukuman Represif, yaitu hukuman yang dilakukan oleh karena adanya pelanggaran, oleh adanya kesalahan yang telah diperbuat. Jadi, hukuman itu dilakukan setelah terjadi pelanggaran.
    Sementara itu W. Stern membagi hukuman menurut tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.
1)      Hukuman Asosiatif, yaitu penderitaan akibat dari pemberian hukuman ada kaitannya dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukannya. Dengan kata lain hukuman itu diasosiasikan dengan pelanggarannya.
2)      Hukuman Logis, yaitu anak dihukum hingga memahami kesalahnnya. Hukuman ini diberikan pada anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami bahwa ia mendapat hukuman akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
3)      Hukuman Normatif, bermasud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini sangat erat hubungannya dengan pembentukan watak anak-anak.
    Ada pula yang membagi hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Hukuman Alam, yang dikemukakan oleh JJ. Rousseau dari aliran Naturalisme berpendapat kalau ada anak yang melakukan kesalahan jangan dihukum, biarlah alam yang menghukumnya. Dengan kata lain, biarlah anak kapok atau jera dengan sendirinya.
2)      Hukuman Yang Disengaja, hukuman ini dilakukan dengan sengaja dan bertujuan.
    Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu membagi hukuman menjadi dua, yaitu:[18]
1)      Hukuman yang Dilarang, seperti: memukul wajah, kekerasan yang berlebihan, perkataan buruk, memukul ketika marah, menendang dengan kaki dan sangat marah.
2)      Hukuman yang Mendidik dan Bermanfaat, seperti: memberikan nasehat dan pengarahan, mengerutkan muka, membentak, menghentikan kenakalannya, menyindir, mendiamkan, teguran, duduk dengan menempelkan lutut ke perut, hukuman dari ayah, menggantungkan tongkat, dan pukulan ringan.
Dari beberapa macam hukuman di atas, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya hukuman preventiv dan represif, karena sebenarnya dalam ilmu pendidikan, kedua istilah itu tidak tepat kalau hanya dihbungkan dengan hukuman. Lebih sesuai kiranya jika kedua istilah itu dipergunakan untuk menyifatkan alat-alat pendidikan pada umumnya.
Hukuman Alam juga kurang tepat karena ditinjai secara pedagogis, hukuman alam itu tidak mendidik. Walau dalam beberapa hal yang kecil atau ringan, kadang-kadang teori Rousseau itu ada benarnya juga. Tapi, dengan hukuman alam saja anak tidak dapat mengetahui norma-norma etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan yang tidak. Hal ini berbahaya karena berarti alamlah yang akan merubahnya. Kalau alam atau lingkungannya jelek, tentu akan lebih buruk lagi akibatnya. Karena di sini tidak ada yang mengarahkan anak secara khusus kepada hal yang lebih baik. Karena ketika anak didik melakukan pelangaran justru pendidik membiarkan dengan harapan bisa berubah dengan sendirinya.
    5. Syarat Penggunaan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Hukuman merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pendidikan Islam guna mengembalikan perbuatan yang salah kepada jalan yang benar. Namun, penggunaannya tidak boleh sewenang-wenwng tertutama dalam hukuman fisik harus mengikuti ketentuan yang ada.
Terkadang menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung. Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut akan mendapatkan dua  hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik (pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan hukuman pukulan, antara lain:
    Pendidik tidak terburu-buru.
    Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
    Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
    Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.
    Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
    Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahannya itu.
    Pendidik menggunakan tangannya sendiri.
    Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik kembali.
Dari sini dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangnnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi:
“Wajib juga untuk memukul keduanya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan yang dimiliki.”
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu ang tidak menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun demikian, kebolehan menghukum bukan berarti pendidik dapat melakukan hukuman sekehendak hatinya, khususnya hukuman fisik, ada bagian anggota badan tertentu yang disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk dikenai hukuman fisik. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman badan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih aman dan kebal terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dari beberapa pendapat yang lain membagi syarat hukuman menjadi dua, yaitu:
    Lemah lembut dan kasih sayang.
    Dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling keras.
Armai Arief membagi syara-syarat pemberian yang harus diperhatikan oleh pendidik menjadi lima, yaitu:
    Tetap dalam jalinan cinta, kasih dan sayang.
    Didasarkan kepada alasan “keharusan”.
    Menimbulkan kesan di hati anak.
    Menimbulkan keinsyaafan dan penyesalan kepada anak didik.
    Diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.
Sedangkan secara singkat M. Ngalim Purwanto membagi syarat hukuman yang pedagogis menjadi 8, antara lain:
    Dapat dipertanggung jawabkan
    Bersifat memperbaiki
    Tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam
    Jangan menghukum pada waktu sedang marah
    Harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan
    Dapat dirasakan anak sebagai penderitaan yang sebenarnya
    Jangan melakukan hukuman badan
    Tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya
    Guru sanggup memberi maaf setelah anak itu menginsafi kesalahannya.
Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam pendidikan Islam sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak didik adalah dapat menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.
    6. Tahapan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Dalam pemberian hukuman ada tahapan yang harus diperhatikan oleh pendidik, mulai dari yang teringan hingga akhirnya menjadi yang terberat, yaitu:
    Memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat
Yaitu dengan tidak memojokkan dan mengungkit-ungkit kekeliruannya dengan nasehat yang panjang lebar, karena dapat membuat anak menolak terlebih dahulu apa yang akan disampaikan. Pemilihan waktupun harus dipertimbangkan sehingga anak bisa enjoy menerima masukan.
    Hukuman pengabaian, untuk menumbuhkan perasaan tidak nyaman dan teracuhkan di hati anak.
    Hukuman fisik, sebagai tahap akhir dengan catatan bahwa hukuman fisik (pukulan) yang diberikan tidaklah terlalu keras dan menyakitkan.
Rasulullah Saw menjelaskan tahapan bagi pendidik untuk memperbaiki penyimpangan anak, mendidik, meluruskan kebengkokannya, membentuk moral dan spiritualnya menjadi tujuh seperti yang terdapat dalam buku Pendidikan Anak Dalam Islam, yaitu menunjukkan kesalahan dengan:
    Pengarahan
    Ramah tamah
    Memberikan isyarat
    Kecaman
    Memutuskan hubungan (memboikotnya)
    Memukul
    Memberi hukuman yang membuat jera.
Hukuman dengan memukul dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain sudah tidak bisa.
Begitu pula ketika pendidik menghukum anak yang berperangai buruk didepan saudara dan temannya, maka hukuman ini akan meninggalkan bekas yang besar pada jiwa anak-anak secara keseluruhan dan memperhitungkan seribu kali terhadap hukuman yang akan menimpa mereka. Dengan demikian mereka bisa mengambil pelajaran darinya.
Jika pendidik tahu bahwa dengan salah satu tahapan ini tidak mendapatkan hasil untuk memperbaiki anak dan meluruskan problematikanya maka hendaknya beralih kepada yang lebih keras secara bertahap misalnya, dengan kecaman. Apabila belum berhasil dan tidak dianggap, maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Yang paling utama hukuman terakhir ini dilaksanakan di hadapan keluarga atau teman-temannya sehingga dapat dijadikan pelajaran oleh mereka.
    7. Dampak Negatif dan Dampak Positif Hukuman
        Dampak Negatif
Jika kita bertanya dapatkan suatu hukuman yang sama yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap beberapa orang anak , akan menghasilkan dampak yang sama pula? Maka jawabnya adalah “Belum tentu” dan bisa juga “Tidak mungkin”. Biarpun demikian, tiap-tiap hukuman mengandung maksud yang sama, yakni bertujuan untuk memperbaiki watak dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu dapat diharapkan.
M. Ngalim Purwanto mengatakan ada tiga dampak negatif dari hukuman, yaitu:
1)      Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum. Akibat ini harus dihindari karena hukuman ini adalah akibat dari hukuman yang sewengan-wenang dan tanpa tanggung jawab.
2)      Anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini bukanlah akibat yang diharapkan oleh pendidik.
3)      Si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, karena si pelanggar merasa telah membayar hukumannya dengan hukuman yang telah diterimanya.
Armai Arief dalam Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam mengatakan bahwa dampak negatif yang muncul dari pemberian hukuman yang tidak efektif, antara lain:
1)     Membangkitkan suasana rusuh, takut, dan kurang percaya diri.
2)     Murid akan selalu meras sempit hati, bersitat pemalas, serta akan menyebabkan ia suka berdusta (karena takut dihukum).
3)     Mengurangi keberanian anak untuk bertindak.
Dalam buku yang lain Syaikh Jamil Zainu berpendapat bahwa dampak negatif dari hukuman fisik ada tujuh, yaitu:
1)      Mengacaukan dan menghambat jalannya pelajaran bagi murid secara keseluruhan.
2)      Guru dan murid akan terpengaruh ketika diberlakuknnya hukuman dan hal itu akan membekas pada keduanya secara bersamaan.
3)      Adanya bekas yang merugikan pada diri murid yang terkena pukulan baik pada wajah, mata, telinga atau anggota badan lainnya.
4)      Kesulitan pemahaman terhadap pelajaran bagi murid yang dihukum
5)      Kesulitan yang akan dihadapi guru untuk mempertanggung jawabkannya di hadapan hakim, keluarga dan penyidik
6)      Terbuangnya waktu murid untuk belajar dan mereka akan terpengaruh dengan apa yang tengah terjadi ketika pelajaran berlangsung
7)      Hilangnya rasa saling memuliakan dan menghormati antar murid dan guru.
Hukuman fisik ini bisa digunakan dalam keadaan yang sangat darurat seperti menghukum sebagian murid yang melakukan penyimpangan karena tidak ada lagi hukuman yang bisa membuatnya jera kecuali dengan hukuman fisik atau untuk menjaga wibawa (kehormtan) dan tata tertib sekolah setelah para guru memberikan nasehat dan arahan kepada selurut murid tetapi mereka tidak jera juga. Hal ini sebagiamana diungkapkan dalam sebuah pepatah orang Arab “Obat yang paling akhir adalah dibakar besi”.[30]
Muhammad bin ‘Abdullah Sahim mengatakan dampak jelek bagi anak atas hukuman yang menggunakan kekerasan, yaitu:[31]
1)      Mewariskan pada diri anak kebodohan dan kedunguan
2)      Anak akan merasa rendah diri dan bloon, mudah dipermainkan dan diarahkan oleh anak yang lebih kecil sekalipun
3)      Suka membangkang sebagai bentuk perlawanan terhadap pendidikannya.
Sepantasnyalah Rasulullah Saw dicontoh oleh seorang pendidik yang baik dalam bersikap kepada anak,  sehingga hukuman benar-benar dapat efektif.
    Dampak Positif
Armai Arief mengatakan dampak positif dari hukuman antara lain:
1)     Menjadikan perbaikan-perbaikan terhadap kesalahan murid.
2)     Murid tidak lagi melakukan kelahan yang sama.
3)     Merasakan akibat perbuatannya sehingga ia akan menghormati dirinya.
M. Ngalim Purwanto membagi dampak positif hukuman menjadi dua, yaitu:
1)      Memperbaiki tingkah laku si pelanggar.
2)      Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.

 [1] www.balipost.co.id
[2] www.kompas.com
[3] Reportase Sore Trans 7, Edisi, 29 Desember 2006
[4] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 333
[5] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung, 2001), hal. 187
[7] http://fertobhades.wordpress.com/2006/11/12/hkmn/
[8] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206
[9] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[10] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[11] Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), hal. 341
[12] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang, 1993), hal. 66
[13] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M. Arifin dan Zainuddin (Jakarta, 2005), hal. 228
[14] Abu Dawud, Terjemahan Sunan Abu Dawud, terj. Bey Arifin dan A. Syinqithy Djamaluddin (Semarang, 1992), hal. 326
[15] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 81
[16] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 175-176
[17] Ibid. hal. 178
[18] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solom 2005), hal. 167-183
[19] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 325-327
[20] Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Syarah Safinatu An-Naja) (Semarang, 1985), hal. 17
[21] Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan Rasulullah Saw, terj. Bahrun Abubakar Ihsan Zubaidi (Bandung, 2005), hal. 303-305
[22] Abla Bassat Gomma, Mendidik Mentalitas Anak Panduan Bagi Orangtua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa pada Anak-Anak, terj. Mohd. Zaky Abdillah (Solo, 2006), hal. 48
[23] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.; Bandung, 1994), hal. 179-180
[24] Irawati Istadi, Agar Hadiah dan Hukuman Efektif (Jakarta, 2005), hal. 94-96
[25] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal. 316-323
[26] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta, 1994), hal 323
[27] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (rev. ed.: Bandung, 1994), hal. 177
[28] Armai Arie, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133
[29] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Seruan Kepada Pendidik dan Orangtua, terj. Abu Hanan dan Ummu Dzakiyya (Solo, 2005), hal. 166-167
[30] Ibid. hal. 166
[31] Muhammad bin ‘Abdullah as-Sahim, 15 Kealahan Fatal Mendidik Anak dan Cara Islami memperbaikinya, terj. Abu Shafiya (Yogyakarta, 2002), hal. 135
[32] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta, 2002), hal. 133

WIBAWA DALAM PENDIDIKAN (SEORANG PENDIDIK)
BAB I
PENDAHULUAN
A. HUBUNGAN PENDIDIKAN DENGAN MANUSIA
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa untuk merealisasikan tugas dan kedudukan manusia tersebut dapat ditempuh manusia lewat pendidikan. Dengan media ini, diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi yang diberikan Allah SWT secara optimal, untuk merealisasikan kedudukan, tugas, dan fungsinya.
Namun tidak semua pendidikan dapat mengemban tugas dan fumgsi manusia tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang konsep pendidikan yang ditawarkan sehingga lebih berperanbagi pengembangan manusia yang berkualitas, tanpa menghilangkan nilai-nilai fitri yang dimilikinya.
Dan nampaknya satu-satunya konsep pendidikan yang dapat dikembangkan adalah konsep pendidikan Islam. Dengan pendidikan islam manusia sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan kemungkinan kepada Allah, dan bahkan ia berusaha agar segala aktivitasnya sebagai khalifah harus dilaksanakan dalam rangka ‘ubudiyah kepada Allah Swt.
Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Maka dari itu ada bebrapa hal mengapa pendidikan sangat penting bagi kehidupan manusia, yaitu antara lain :
a Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
c Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WIBAWA
Wibawa adalah sifat yang memperlihatkan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan daya tarik (KBBI, 2000). Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur katanya, penga-jarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya.
Pada era 1960-an, wibawa guru masih kental dan terasa. Sosok guru selalu dipuja, dihormati, dan sikap serta pemikirannya senatiasa ditela-dani. Apa yang disampaikan gurunya selalu diang-gap sebagai amanat yang wajib dilaksanakan. Siswa menjunjung tinggi gurunya, bahkan melebihi orang tua kandungnya sendiri. Pada era itu, siswa tidak berani berbicara sambil menatap langsung mata gurunya, tetapi berbicara sambil menunduk dengan suara yang pelan. Begitu tingginya derajat guru kala itu, siswa akan gugup dan berkeringat dingin ketika diajak bicara oleh sang guru.
Perubahan dan pergeseran peri-laku generasi muda pada era 2000-an telah berimbas kepada merosotnya wibawa guru. Idiom guru ialah sosok yang digugu dan diguru tidak berlaku lagi. Siswa cenderung memandang enteng gurunya. Oleh karena merasa sudah membayar mahal uang sekolah-nya serta menganggap guru sebagai orang bayaran. Pada lain pihak, guru seperti memakan buah simalakama. Pada satu sisi, guru ingin menancapkan kewiba-waannya di mata siswanya, tetapi pada sisi lain ada perut yang harus diisi, ada dapur yang harus mengepul, uang kontrakan yang harus dibayar,dan ada anak yang harus dibiayai. Apa daya, guru terpaksa bekerja ekstra, terpaksa memberi les tambahan, terpaksa mengajar di berba-gai tempat, bahkan menyambi sebagai pengojek. Jadi, indikasi merosotnya wibawa guru adalah karena adanya impitan ekonomi. Di samping itu, masuknya budaya asing dan kemajuan teknologi dianggap sebagai pemicu perubahan perilaku anak sekolah. Adanya tawuran, geng motor, masuk-nya narkoba di lingkungan sekolah, dan rusaknya moral remaja adalah contoh yang konkret. Aura kewiba-waan guru mutlak harus terpancar dan merasuk ke dalam jiwa murid-muridnya.
Untuk menegakkan wibawa yang runtuh itu, diperlukan kebesaran hati guru itu sendiri dengan mau berjuang untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kompetensi serta profe-sionalismenya. Guru yang smart dan berwawasan luas dapat menyihir siswa-nya serta membuat takjub dan terkesima sehingga si murid akan menaruh hormat kepadanya. Akan tetapi, apa daya, karena beban kerja yang tinggi untuk mengejar setoran, si guru tidak sempat mengasah diri dan membuat dirinya bernilai. Harga diri yang jatuh dan wibawa yang terhempas telah menimpa guru kita. Akankah keadaan ini dibiarkan? Tugas mulia guru harus diganjar dengan penghargaan dan apresiasi yang tinggi. Bukan sebaliknya, guru malah harus rela gajinya tidak dibayar dalam jangka waktu berbulan-bulan dan disunat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
B. KAJIAN WIBAWA GURU
Dengan membaca beberapa kajian, kita dapat melihat sketsa kehidupan yang terjadi di sekitar kita. Nilai-nilai budi pekerti dapat dipetik dalam karya sastra. Sebaliknya, unsur negatif dan kerusakan moral yang terjadi di bumi ini pun dapat terekam dalam karya sastra. Karya sastra era 1960-an dan karya sastra era 2000-an memiliki perbedaan yang mencolok apabila dikontraskan.
Dalam kajian ini, ditemukan pertentangan wibawa guru antara sosok guru dalam era 1960-an dan era 2000-an. Terlihat dalam data dan analisis sebagai berikut.
Pada era 1960-an, wibawa guru masih terpancar. Murid masih mengagumi gurunya, menaruh hormat, dan menempatkan guru pada derajat yang tinggi. Murid berlomba-lomba menolong gurunya supaya mendapat pahala. Sosok guru dijadikan gantungan untuk bertanya, baik masalah pelajaran, keluarga, bahkan masalah persawahan. Dengan demikian, guru masih dianggap orang yang ahli, banyak ilmu, dan bijak. Di mata murid dan masyarakat, guru lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang tua bahkan pemuka masyarakat. Bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan sang guru merupakan suatu kebanggaan.
Jadi, dalam pada era 1960, citra guru sangat positif. Akan tetapi, pada era 2000-an, wibawa guru memudar. Guru malah diperolokolok-kan, dicemoohi, dan menjadi sosok yang dihindari. Murid tidak menempatkan guru sebagai mitra yang dapat diajak bekerja sama. Murid malahan menempatkan gurunya pada tempat yang negatif. Guru disimbolkan sebagai sosok yang menakutkan, jahat, dan mengerikan. Persepsi murid terhadap guru itu muncul karena ketiadaan wibawa yang melekat pada gurunya. Pelecehan murid kepada guru bukanlah sekedar isapan jempol. Pada kenyataan, ada fakta yang menyebutkan seorang murid tega memukuli gurunyan sampai babak belur karena merasa sakit hati ketika ditegur di kelas. Ada juga murid yang tega menggembosi ban sepeda motor gurunya karena mendapat nilai jelek. Ada pula murid yang berani mengancam gurunya dengan pisau supaya ia diluluskan. Perubahan perilaku di atas terjadi karena terjadinya kemunduran moral dan akhlak.

C. MACAM-MACAM KEWIBAWAAN
Ditinjau dari daya mempengaruhi seseorang, kewibawaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kewibawaan lahir;
Kewibawaan lahir merupakan kewibawaan yang nampak dan terlihat pada diri seorang pendidik atau seorang guru. Kewibawaan lahir bisa nampak dari cara berpakaiannya, cara berbicaranya dan dari cara dia bertindak. Kewibawaan lahir ini bisa diraih dengan cara pembentukan fisik dan gerak yang kharismatik ketika berhadapan dengan peserta didik.
2. Kewibawaan Batin;
Kewibawaan bathin merupakan kewibawaan yang dimiliki oleh seorang guru atau pendidik yang tak nampak atau tidak terlihat, namun ketika ia hadir maka setiap siswa dapat merasakan bahwa ia adalah sosok yang mengagumkan dan sosok yang patut untuk dipatuhi perintahnya, harus didengarkan setiaap perkataanya dan harus senantias menaruh hormat kepadanya. Meskipun pendidik tak melakukan atau berbicara apapun, namun karena kewibawaan yang terpancar dari dalam dirinya maka ia akan senantiasa dihormati oleh peserta didik atau muridnya.
Kewibawaan bathin ini bisa didapatkan dengan senantiasa mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri kita atau dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Imam Al-Ghazali pernah berkata jika manusia ingin disebut sebagai manusia yang sesungguhnya maka ia harus senantiasa memperkuat ruhnya dengan amalan-amalan ukhrowi, karena ruh adalah sumber kebahagiaan, ruh adalah pemancar ketenangan dan harapan dan ruh ialah sumber dari kekuatan. Maka, untuk mengoptimalkan potensi ruhaniah yang ada pada diri kita hendaknya seorang pendidik haris senantiasa berdo’a dan mengingat Allah dalam setiap aktivitasnya, teruatama saat mendidik.
D. MEMBENTUK DAN MEMPERTAHANKAN KEWIBAWAAN
Wibawa adalah pengaruh yang baik secara abadi dari seseorang kepada orang lain yang tercermin pada pribadi dan perilaku kehidupannya. Wibawa menumbuhkan ketaatan dengan kesadaran, pengertian, dan persetujuan. Wibawa guru penting untuk memudahkan memberi pengaruh dalam penularan atau penyampaian pembelajaran. Selain itu, wibawa guru akan cenderung menyadari keberhasilan kerjanya. Wibawa guru menunjukkan pengakuan martabat dirinya yang tidak perlu dukungan dari orang lain. Seperti dengan cara intimidasi atau memberikan tekanan pada siswanya.
Oleh karena itu, guru yang berwibawa akan memberikan pendidikan dengan layanan prima dan tanpa pamrih. Siswa akan dididik dengan tulus agar dapat menjalani hidup yang sukses. Perilaku guru pun menunjukkan pribadi yang jujur, adil, taat asas, tulus, dan bijaksana. Sebaliknya, guru yang melakukan pendidikan dengan penekanan cenderung bersifat indoktrinasi yang dipandang bukan pendidikan lagi. Dengan demikian, siswa tidak dididik untuk memiliki kemandirian yang bebas, etis, dan bertanggung jawab sendiri.
Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setap warga masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda, khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orangtua merasa berkepentinagn dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Yang jelas, kaum professional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relative cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum, seperti:
1. Melakukan kewajiban dasar good will atau itikad baik, dengan kesadaran pengabdian;
2. Memperlakukan siapapun, anak didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri;
3. Menghormati perasaan setiap orang;
4. Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya.
5. Akan menerima haknya semata-mata sebagai suatu kehormatan.
Dan untuk menjadi seorang pendidik (guru) yang professional dan berwibaawa setidaknya ada beberapa persyaratan yang harus dimilki oleh seorang pendidik, baik itu dilihat dari aspek pribadi serta menjalin hubungan (relationship) dengan peserta didiknya. Diantara syarat-syarat tersebut ialah :
1. Berkaitan dengan diri seorang pendidik (guru) :
a) Sehat jasmani dan rohani;
b) Bertaqwa dan memiliki kecerdasan social;
c) Memiliki kecerdasan interlektual dan berpengetahuan luas;
d) Ikhlas;
e) Mempunyai orientasi yang jelas; dan
f) Menguasai bidang yang ditekuni.
2. Berkaitan dengan Sikap guru terhadap peserta didik:
a) Berlaku adil, tidak pilih kasih;
b) Mampu menjadi suri tauladan;
c) Bijaksana terhadap murid;
d) Memiliki kesabaran;
e) Tidak mudah marah dan mampu mengontrol emosi;
f) Mampu memberikan motivasi;
g) Menegur dengan bijak;
h) Memerintah dengan cara yang menyenangkan; dan
i) Mampu merangsang murid berkreasi.
Seorang pendidik yang berwibawa harus banyak melakukan terobosan untuk merangsang dan membangkitkan kreativitas muridnya. Karena peserta didik ibarat kertas putih, ia harus dibiarkan tumbuh apa adanya. Seorang pendidik tidak boleh mengintervensi kesucian hidupnya, tugas pendidik adalah membimbing kejalan yang benar bila ia terlihat melenceng dari jalan kebenaran. Seperti tanaman yang tumbuh degnan subur apabila disirami dan diberi wahana yang cocok, kreativitaspun demikian adanya.
E. KEWIBAWAAN DAN ANAK DIDIK
Perkembangan dan kewibawaan anak didik ditandai dengan tumbuhnya kepercayaan. Dimana hal ini merupakan syarat tekhnik pergaulan yang juga merupakan ’prototype kewibawaan dalam berbagai lingkungan. Dalam lingkungan pendidikan, kepercayaan yang diberikan oleh pendidik kepda anak didik mempunyai dua arti, yaitu :
1. Bahwa keinginan pendidik untuk terus mengikat pribadi anak didik pada dirinya telah dapat diatasi oleh pendidik.
2. bahwa kepercayaan itu adalah suatu sumber bagi anak didik untuk tumbuh dan berkembang.
Kepercayaan itu memberikian dorongan kepada anak didik agar ia berani dan penuh keyakinan serta keinginan berusaha supaya menjadi dewasa. Kedewasaan dapat dikatakan akhir masa pendidikan, dalam arti apabila manusia itu telah dianggap menjalankan kewibawaan atas diri dan segala sesuatu yang dipercaya dan disamping itu tetap mengakui dan patuh pada kewibawaan yaang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai, Dr., 2007. Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat: CRSD Press.
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Jalaludin, Prof. Dr. H & Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Johnson, Lou Anne. 2009. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik: Cara Membangkitkan Minat Siswa melalui Pemikiran. Terj. Dani Dharyani. Jakarta: PT. Indeks.
Khalifah, Mahmud & Usamah Quthub., 2009. KAIFA TASHABAHA MU’ALLIMAN MUNAZIYAN (Menjadi Guru yang Dirindu, Bagaimana Menjadi Guru yang Memikat dan Profesional). Terj. Muhtadi Kadi & Kusrin Karyadi. Surakarta : Ziyad Visi Media.
Nurteti, Lilis., S.PdI, M.Pd. 2009. PEDAGOGIK Pengantar Teori Analisis, Untuk Kalangan Mahasiswa Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.
Ramayulius, Prof. Dr. H., 2007. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Ramly, Tengku Amir., 2008. MENJADI GURU IDOLA Mengajar dari Kedalaman Hati. Bekasi : Pustaka Inti.
Sumiati, Dra. & Asra, M.Ed. 2007. Metode Pembelajaran, Bandung : Wacana Prima.
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr., 2006. Filsafat Pendidikan Islami (integrasi jasmani, rohani, dan kalbu memanusiakan manusia), Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tholkhah, Imam, Dr., 2008. Profil Ideal Guru Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Titian Pena.
Widodo, Ardi, Dr., 2007. Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Jakarta: Nimas Multima.
Jalasutra Egleton Terry. ikbud. 2004. Kamus Besar Bahasa Baku. Jakarta: Balai Pusat.
Soetjipto. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
http://menaraislam.com/content/view/75/40/
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com
http://lorongedukasi.wordpress.com/
http://newspaper.pikiran-rakyat.com
http://www.idonbiu.com/2009/04/upaya-meningkatkan-citra-guru.html

PENGERTIAN FITRAH MENURUT AHLI PENDIDIKAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Struktur fitrah merupakan struktur yang mencakup keseluruhan komponen manusia. Fitrah dapat berbentuk komponen psikis saja, atau juga bisa berbentuk komponen psikopisik. Fitrah memiliki natur multi dimensi dan multi potensi. Dikatakan multi dimensi karena fitrah mampu menggambarkan keseluruhan periode atau tahapan kehidupan manusia, baik dimensi alam pra kehidupan dunia, alam kehidupan dunia, maupun alam pasca kehidupan dunia. Dikatakan multipotensi karena fitrah memiliki beberapa potensi yang secara inhern telah ada pada diri manusia sejak awal penciptaannya. Beberapa potensi fitri itu masih bersifat potensial yang aktualisasinya sangat tergantung kepada usaha (al-kasb, al-sa’a) manusia sendiri. Oleh karena itu, pemilihan struktur ini merupakan pemilihan yang tepat, sebab konsep fitrah menggambarkan hakekat manusia yang secara gamblang diungkap di dalam Al-Quran dan Sunnah yang substansinya dapat mengkaver keseluruhan dimensi-dimensi kepribadian manusia yang sesungguhnya.
Untuk kejelasan bahasan ini, penulis menggunakan pola yang ditawarkan oleh Toshihiko Izutsu. Bagi Izutsu , pemahaman hakekat manusia dapat ditempuh melalui tiga tahap; Pertama, memilih istilah-istilah kunci (key terms) dari vocabulary Al-Quran, yang dianggap sebagai unsur konseptual dasar bagi ideology Qur’ani. Kedua, menentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Makna pokok berkaitan dengan makna kebahasaan atau makna semantik yang menjadi elemen penting dalam istilah tersebut. Sedang makna nasabi merupakan makna tambahan yang terjadi kerena istilah itu dihubungkan dengan konteks dimana istilah itu berada. Ketiga, menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep itu ke dalam satu kesatuan.
Ketiga langkah di atas memiliki validitas apabila sebelumnya telah diungkap terlebih dahulu konsep fitrah di dalam Al-Quran dan sunnah. Oleh sebab itu, penulis berusaha mengungkap konsep fitrah malalui leksikologi Al-Quran dan hadits yang ditopang oleh penafsiran para pakar. Dengan upaya ini diharapkan dapat ditemukan konsep hakiki fitrah yang berkaitan dengan maknanya.
BAB II
FITRAH
II.1 Fitrah di dalam Al-Quran
Fitrah dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 20 kali. Masing-masing ayat yang memuat term fitrah memiliki bentuk, kategori, subjek, objek, aspek dan makna tersendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut ini:
Berdasarkan tabel di bawah maka term fitrah dapat dipahami sebagai berikut:
No Tempat Ayat Bentuk Kata Kategori Ayat Subjek Ayat Objek Ayat Arti Ayat
1 Al-An’am:79 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
2 Al-Rum:30 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
3 Hud:51 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
4 Yasin:22 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
5 Zukhruf:27 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
6 Thaha:72 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
7 Al-Isra’:51 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Manusia Penciptaan
8 Al-Anbiya’:56 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
9 Maryam:90 Fi’il Mudhari’ Makkiyah Allah Langit Belah
10 Asy-Syuura:5 Fi’il Mudhari’ Makkiyah Allah Langit Belah
11 Al-Infithar:1 Fi’il Madhi Makkiyah Allah Langit Belah
12 Asy-Syuura:11 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
13 Al-An’am:14 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
14 Ibrahim:10 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
15 Fathir:1 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
16 Yusuf:101 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
17 Al-Zumar:46 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit-Bumi Penciptaan
18 Al-Rum:30 Isim Masdar Makkiyah Allah - -
19 Al-Mulk:3 Jama’ Makkiyah Allah Langit Belah
20 Al-Muzammil:18 Isim Fa’il Makkiyah Allah Langit Belah
1) Kata fitrah (al-fitrah) merupakan bentuk masdar dari kata fathara. Dengan segala perubahan bentuknya, ia terulang dalam Al-Quran sebanyak 20 kali yang tersebar di dalam 17 surat.
2) Semua surat yang di dalamnya memuat kata fitrah diturunkan di Makkah, sehingga surat ini disebut dengan surat Makkiyah. Isi surat Makkiyah adalah tentang masalah-masalah keimanan dan penyembahan yang bersifat ketauhidan. Dengan demikian konsep keimanan dalam fitrah masih bersifat universal dan potensial, bukan dalam bentuk spesifik dan aktual. Spesifikasi dan aktualisasi fitrah islam hanya dapat diperoleh melalui penelaahan suatu ayat tertentu, bukan dari generalisasi semua ayat.
3) Subjek fitrah adalah Allah SWT, karena hanya Dia Zat al-Fathir (pencipta).
4) Objek fitrah adalah (a) khusus manusia (al-nas), (b) langit-bumi (samawat wa ardh), dan (c) langit (samawat). Dengan kategori ini, konsep fitrah dapat dikaitkan dengan semua penciptaan alam, baik alam makro (langit-bumi) maupun alam mikro (manusia).
5) Makna fitrah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-syaqq (pecah/belah) yang ditujukan pada objek langit dan al-khilqah (penciptaan) yang ditujukan pada objek manusia.
II.2 Fitrah di dalam Hadits
Fitrah diungkap dalam hadits dengan berbagai bentuk dan makna. Masing-masing hadits memiliki topik dan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis di sini hanya menampilkan beberapa hadits dalam bentuk terjemah ke bahasa Indonesia. Walaupun kuantitasnya masih relatif minim, namun diperkirakan mampu mengkaver keseluruhan kata-kata fitrah dalam hadits. Adapun hadits yang dimaksud adalah :
Hadits pertama :
“Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits kedua :
“Sepuluh macam yang termasuk dalam kategori fitrah, yaitu (1) mencukur kumis, (2) membiarkan jengggot panjang dan lebat, (3) bersikat gigi/bersiwak, (4) menghirup air untuk membersihkan hidung, (5) menggunting kuku, (6) membersihkan jari-jemari, (7) mencabut bulu ketiak, (8) mencukur bulu kelamin, (9) membersihkan kencing dengan air, dan (10) berkumur-kumur.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah)
Hadits ketiga:
“Zakat fitrah itu diwajibkan sebanyak segantang kurma atau segantang gandum bagi setiap orang Muslim merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita.” (H.R. Al-Bukhari dari Ibn Umar)
Hadits keempat:
“Shalat Idul Adha itu sebanyak dua rakaat, shalat Idul Fitri itu sebanyak dua rakaat, shalat orang yang berpergian itu sebanyak dua rakaat, shalat Jumat itu sebanyak dua rakaat.” (H.R. Al-Nasa’I dari Umar ibn al-Khattab)
Hadits kelima :
“Doa Nabi SAW: Ya Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, Tuhan segala sesuatu dan sesuatu itu menjadi milik-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Aku minta perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsu dan syaitan serta kroni-kroninya.” (H.R. Al-Darimiy dari Abu Hurairah)
Berkenaan beberapa hadits di atas, maka dapat dipahami sebagai berikut :
Pertama, hadits pertama berkaitan dengan masalah takdir dan status anak yang dilahirkan, baik dari keturunan mukmin atau kafir. Konsep fitrah pada hadits ini mengisyaratkan adanya takdir manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam kondisi kemusliman. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi psikis manusia yang berpotensi untuk ber-Islam.
Kedua, hadits kedua berkaitan dengan topik kesucian fisik manusia. Dalam hadits di atas, terdapat sepuluh macam yang termasuk bagian kefitrian (kesucian). Barangsiapa yang mau melaksanakan sepuluh macam itu maka fisiknya berada dalam kefitrian. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi kesucian fisik manusia.
Ketiga, hadits ketiga berkaitan dengan topik zakat fitrah, yaitu zakat yang dikeluarkan oleh setiap umat Islam pada bulan Ramadhan, baik kecil maupun besar, laik-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka. Zakat ini berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia, dan dapat menambah kesempurnaan ibadah puasa. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan jenis zakat yang diwajibkan untuk setiap individu Muslim agar jiwanya menjadi fitri (suci).
Keempat, hadits keempat berkaitan dengan topik shalat pada hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul Fitri dua rakaat. Konsep fitrah pada hadits ini lebih dekat diartikan dengan jenis shalat sunnat yang dilakukan setiap satu bulan syawal.
Kelima, hadits kelima berkaitan dengan topik salah satu nama (asma) Allah, yaitu al-Fathir. Nabi Muhammad SAW ketika berdoa terkadang menyebut asma Allah dengan al-Fathir, yaitu Zat Pencipta, sebab hanya Allah yang menciptakan jagat raya ini. Konsep fitrah di sini diartikan dengan “penciptaan”.
II.3 Makna Fitrah
a) Makna Etimologi
Fitrah, menurut Ibn Faris dalam “Mu’jam Maqayis al-Lughah”, menunjukkan pada “terbukanya sesuatu dan melahirkannya”, seperti orang yang berbuka puasa. Berdasarkan makna dasar tersebut maka berkembang menjadi dua makna pokok; Pertama, fitrah berarti al-insyiqaq atau al-syaqq yang berarti al-inkisar (pecah atau belah). Arti ini diambil dari lima ayat yang menyebut kata fitrah yang objeknya ditujukan pada langit saja.
Kedua, fitrah berarti al-khilqah, al-ijad, atau al-ibda’ (penciptaan). Arti ini terdapat pada 14 ayat yang menyebut kata fitrah. Enam ayat di antaranya berkaitan dengan penciptaan manusia, sedangkan yang lain berkaitan dengan penciptaan langit dan bumi.

b) Makna Nasabi
Pemaknaan fitrah dari makna nasabi diambil dari beberapa ayat dan hadits Nabi. Pada ayat dan hadits tersebut para mufassir sangat beragam dalam menentukan maknanya. Di antaranya adalah :
Pertama, Fitrah berarti suci (al-thuhr). Menurut al-Awzaiy, fitrah memiliki makna kesucian. Pemaknaan ini didukung oleh hadits nabi yang penulis sampaikan sebelumnya, yakni (1) kata fitrah dalam hadits kedua memiliki makna kesucian fisik manusia. Barangsiapa yang melakukan sepuluh hal tersebut maka fisiknya fitri (suci). (2) kata fitrah dalam hadits ketiga memiliki makna suci, yaitu kesucian harta dan jiwa setelah melaksanakan zakat fitrah. Barangsiapa yang telah mengeluarkan zakat fitrah maka harta dan jiwanya menjadi fitri (suci).
Kedua, fitrah berarti potensi ber-Islam (al-din al-Islamiy). Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Hurairah bahwa fitrah berarti beragama Islam. Sabda Nabi SAW :
“Bukankah aku telah menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang Allah telah menceritakan kepadaku dalam kitab-Nya, bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam yang suci.” (H.R. Iyadh ibn Khumair)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fitrah merupakan potensi bawaan setiap manusia. Potensi bawaan ini ada sejak zaman permulaan penciptaan yaitu pada alam perjanjian (‘alam al-mitsaq). Potensi bawaan itu berupa agama Islam, yaitu mengenal (ma’rifah) dan mencintai (mahabbah) kepada Allah SWT. Potensi ini tidak hanya diberikan pada keturunan Muslim, tetapi juga diberikan kepada seluruh manusia, termasuk keturunan kafir.
Ketiga, fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (tauhid Allah). Manusia lahir dengan membawa potensi tauhid, atau paling tidak, ia cenderung untuk mengesakan Tuhan dan berusaha secara terus-menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa tauhid walaupun masih dalam alam ruh. Hal ini telah digambarkan dalam dialog antara Allah dan ruh, yaitu :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka menjawab, Tentu (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Q.S. al-A’raaf:172)
Keempat, fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah) dan kontinuitas (al-istiqomah). Pemaknaan ini dilontarkan oleh Abu Umar ibn ‘Abd al-Bar. Dalam hadits qudsi dinyatakan :
“Sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (continue dan selamat). Maka syaitanlah yang menarik pada keburukan.” (H.R. Ahmad ibn Hambal dari ‘Iyadh ibn Humair)
Kelima, fitrah berarti perasaan yang tulus (al-ikhlas). Manusia lahir dengan membawa sifat baik. Di antara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam menjalankan segala aktifitas. Konsep inilah yang dimaksud dengan ikhlas sehingga dapt disimpulkan bahwa ketidakikhlasan merupakan penyelewengan fitrah manusia. Nabi SAW bersabda :
“Tiga perkara yang menjadikan keselamatan, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah yang manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa perisai.” (H.R. Abu Hamid dari Mu’az)
Keenam, fitrah berarti kesangggupan untuk menerima kebenaran (isti’dad li qabul al-haq). Secara fitri manusia lahir cenderung berusaha mencari kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam.
Ketujuh, fitrah berarti potensi dasar manusia atau perasaan untuk beribadah (syu’ur li al-‘ubudiyah) dan makrifat kepada Allah. Dalam pemaknaan ini, aktifitas manusia merupakan tolak ukur pemaknaan fitrah. Fitrah merupakan watak asli manusia, sedangkan watak itu
terlihat melalui aktifitas tertentu, yaitu ibadah.
Kedelapan, fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan (al-sa’adat) dan kesengsaraan (al-syaqawat) hidup. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Abbas, Ka’ab ibn Quradhiy, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad ibn Hambal.
Kesembilan, fitrah sebagai tabiat atau watak asli manusia (thabi’iyah al-insan). Watak atau tabiat menurut Ikhwan al-Shafa adalah daya dari daya nafs kulliyah yang menggerakkan jasad manusia. Makna inilah yang lebih tepat untuk mengungkap pembagian, natur, dan aktifitas fitrah.
Kesepuluh, fitrah berarti sifat-sifat Allah SWT yang ditiupkan untuk setiap manusia sebelum dilahirkan. Bentuk-bentuknya adalah asma’ al-husna yang berjumlah 99 nama-nama terindah. Firman Allah SWT :
“Dan Aku meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.S. Al-Hijr:29)
c) Makna Istilah menurut Ahli Pendidikan Islam
Ada beberapa pengertian tentang fitrah yang dikemukakan oleh para ahli. Masing-masing definisi memiliki sudut pandang yang berbeda-beda.
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh al-Raghib al-Asfahaniy :
”Fitrah adalah mewujudkan dan mengadakan sesuatu menurut kondisinya yang dipersiapkan untuk melakukan perbuatan tertentu.”
Pengertian ini masih bersifat umum dan tidak mencerminkan kejelasan maksudnya. Fitrah dianggap sesuatu (al-sya’i). Sesuatu di sini belum jelas apakah berupa disposisi (al-isti’dad), karakter (al-thab’u), sifat (al-sifat), atau konstitusi (al-jibillat). Semuanya masih bersifat umum. Fitrah juga diciptakan menurut kondisinya (al-hai’at). Kondisi di sini entah berupa keselamatan, istiqomah, keislaman, kekufuran, dan sebagainya. Semua masih bersifat umum. Fitrah juga dipersiapkan untuk melakukan “perbuatan sesuatu”. Perbuatan tertentu ini entah berupa berpikir, berbuat, atau berperasaan. Semuanya juga masih belum jelas. Karena itu perlu dicarikan lagi pengertian yang lain.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur dan al-Jurjaniy :
“Fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama.”
Pengertian kedua ini menjelaskan dan membatasi pengertian fitrah yang pertama. Dalam pengertian ini, fitrah dianggap sebagai suatu kondisi (halat) konstitusi dan watak manusia. Konstitusi manusia memiliki aspek fisik dan psikis. Demikian juga watak manusia memiliki kondisi baik dan buruk. Kondisi ini sudah ada sejak awal penciptaan manusia. Tujuan penciptaan konstitusi dan watak tersebut adalah agar manusia mampu menerima agama. Sedangkan agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah al-Islam. Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan memiliki potensi untuk menerima agama. Agama di sini tidak terbatas pada agama Islam saja, melainkan juga mencakup agama-agama yang lain. Konstitusi dan watak yang selamat adalah yang menerima agama Islam, sebab agama Islam-lah yang merupakan agama fitri manusia.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Abu Ayyub ibn Musa al-Husain :
“Fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati semua yang ada (di dunia) sewaktu awal penciptaannya.”
Definisi ketiga ini membatasi makna fitrah sebagai suatu “sifat”. Sifat di sini berlaku untuk semua makhluk di alam raya. Misalnya malaikat memiliki sifat (fitrah) yang baik, taat, bertasbih, dan tidak pernah melanggar aturan Allah SWT. Sedangkan syaitan berfitrah sebagai makhluk yang buruk, sesat, durhaka, dan selalu menyesatkan manusia. Hewan berfitrah sebagai makhluk yang berinsting dan berhawa nafsu. Sementara manusia berfitrah sebagai makhluk yang memiliki semua fitrah yang dimiliki oleh semua yang ada di alam raya ini. Fitrah atau sifat ini telah diciptakan oleh Allah SWT sejak awal penciptaannya.
Keempat, definisi yang dikemukakan oleh Muhammad ibn Asyur yang dikutip oleh M. Quraish Shihab :
“Fitrah adalah suatu sistem yang diwujudkan oleh Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang khusus untuk jenis manusia adalah apa yang diciptakan Allah padanya yang berkaitan dengan jasad dan akal (ruh).”
Dalam definisi tersebut, nampak bahwa fitrah memiliki ruang lingkup yang luas. Fitrah mencakup totalitas apa yang ada di dalam alam dan manusia. Fitrah yang berada di dalam manusia merupakan substansi yang memiliki organisasi konstitusi yang dikendalikan oleh sistem tertentu. Sistem yang dimaksud terstruktur dari komponen jasad dan ruh. Masing-masing komponen ini memiliki sifat dasar, natur, watak, dan cara kerja tersendiri. Semua komponen itu bersifat potensial yang diciptakan oleh Allah sejak awal penciptaannya. Aktualitas fitrah menimbulkan tingkah laku manusia yang disebut dengan “kepribadian”. Kepribadian inilah yang menjadi ciri unik manusia.

DAFTAR PUSTAKA
• al-Ashfahaniy, Al-Raghib.1972. Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Quran. Beirut:Dar al Fikr.
----- 1872. Mu’jam Mufradat Alfazh al-Quran. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Baghdadiy, Alau al-Din Ali Mahmud. Tafsir Khazin Musamma Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Bukhari, Imam. Shahih al-Bukhari. Semarang:Thaha Putra.
• al-Darimiy, Ibn Muhammad ‘Abd Allah. Sunan al-Darimiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Husain, Abu al-Baqa’ Ayyub ibn Musa.1992. Al-Kulliyah; Mu’jam fi al-Mushthalah wa al-Furuq al-Lughawiyah. Beirut:Muassasah al-Risalah.
• al-Jurjaniy, Syarif Ali ibn Muhammad. 1988. Kitab al-Ta’rifat. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
• al-Malikiy, Ahmad Shawiy. Hasyiyah ‘Alamah Shawiy ‘ala Tafsir Jalalain. Jakarta:Dar al-Ahya’ wa Quthub.
• al-Maraghiy, Musthafa. Tafsir al-Maraghiy. Libanon:Dar al-Ahya’.
• al-Nasa’I, Imam.1930. Sunan al-Nasa’I. Beirut:Dar al-Fikr.
• Al-Qurthubiy, Ibnu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad Anshari. Tafsir al-Qurthubiy. Cairo:Dar al-Sa’ab.
• al-Raziy, Muhammad Fahr al-Din. Tafsir Fahr al-Raziy al-Masyhur bi al-Tafsir Mafatih al-Ghaib. Beirut:Dar al-Fikr.
• al-Shafa, Ikhwan. 1957. Rasail Ikhwan al-Shafa wa Khalan al-Wafa. Beirut:Dar Sadir.
• Faidh Allah, Ilm Zadah. Fath al-Rahman li Thalab Ayat al-Quran. Indonesia:Maktabah Dahlan.
• Ibn Zakariyah, Ibn Faris, Abi al-Husain Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Cairo:Maktabah Khanjiy.
• Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi. Bandung:Mizan.
• Langglung, Hasan. 1995. Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma. Selangor:Hizbi.
• Manzhur, Ibnu. Lisan al-‘Arab.1992.Beirut:Dar al-Taras al-‘Arabiy.
• Mujib, Abdul. 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam. Jakarta:Darul Falah.
• Muslim, Imam.1981. Shahih Muslim bi Syarh Imam al-Nawawiy. Beirut:Dar al-Fikr.
• Rahman, Munawwwar. 1995. Kontekstual Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:Paramadina.
• Sa’ad, Al-Thablawiy Mahmud.1984. Al-Tashawwuf fiy Taras ibn Taimiyat. Mesir:al-Hai’at al-Mishriyyat al-‘Ammat li al-Kitab.
• Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung:Mizan.
• Tim Depag RI. 1987. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta:Srajaya.
Peran Lingkungan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Islam
Manusia adalah “makhluk sosial”. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hal tersebut. Khalaqa al-insaana min ‘alaq bukan hanya diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, akan tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”.
Dari hal itu dapat dipahami bahwa manusia dengan seluruh perwatakan dan pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan faktor lingkungan. Faktor inilah yang mempengaruhi manusia dalam berinteraksi dengannya semenjak ia menjadi embrio hingga akhir hayat.
Kemudian, lingkungan yang nyaman dan mendukung bagi terselenggaranya suatu pendidikan sangat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan anak didik, namun lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dan pengaruhnya sangat besar terhadap anak didik. Sebab, bagaimanapun seorang anak tinggal dalam suatu lingkungan, disadari atau tidak, lingkungan tersebut akan mempengaruhi anak tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. dari riwayat Abu Hurairah:
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’. Namun, kedua orang tuanya (mewakili lingkungan) mungkin dapat menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam mengakui potensi lingkungan yang pengaruhnya dapat sangat kuat sehingga sangat mungkin dapat mengalahkan fitrah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebab, lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan, yang secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian, orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.
Sementara itu, sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profesional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.
Begitu pula, masyarakat dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Kemudian, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur. []
[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 421-422.[2]Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 136.

Pendidik dalam Pendidikan Islam
guru2Dalam konteks pendidikan Islam “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam, Kelima istilah ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing.
Murabbi adalah: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
Mu’allim adalah: orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya sertamenjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta implementasi.
Mu’addib adalah: orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
Mudarris adalah: orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat , minat dan kemampuannya.
Mursyid adalah: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
DEFINISI PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab member pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk social dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidik pertama dan utama adalah orangtua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung kepada pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung merupakan cermin atas kusuksesan orangtua juga. Firman Allah SWT.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  

“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. At-Tahrim: 6)
Pendidik disini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah. [3] orangtua sebagai pendidik pertama Dan utama terhadap anak-anaknya, tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anak-anaknya. Selain karena kesibukan kerja, tingkat efektifitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah. Oleh karena itu, anak lazimnya dimasukkan ke dalam lembaga sekolah. Penyerahan peserta didik ke lembaga sekolah bukan berarti melepaskan tanggung jawab orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama, tetapi orangtua tetap mempunyai saham yang besar dalam membina dan mendidik anak kandungnya.
SYARAT SAH PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua criteria berikut :
1. Alim yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah.
2. Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima ank didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan[4]
KEDUDUKAN PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pendidik adalah spiritual father (bapak rohani), bagi peserta didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik memiliki kedudukan tinggi. Dalam beberapa Hadits disebutkan: “Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar atau pendengar atau pecinta, dan Janganlah engkau menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”. Dalam Hadits Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebi berharga ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang Rasul. Al-Syawki[5] bersyair:
“Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa Hadits Nabi tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang-orang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun (perhatikan QS. At-Taubah:122).selanjutnya Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang jinak)[6]kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.
TUGAS PENDIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Dalam paradigma Jawa , pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai
kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Sebagai instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
3. Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.
Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa:
1. Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memerhatikan: kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik.
2. Membangkitkan gairah peserta didik
3. Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik
4. Mengatur proses belajar mengajar yang baik
5. Memerhatikan perubahan-perubahankecendrungan yang mempengaruhi proses mengajar
6. Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75.
[2] Suryosubrata B., Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h.26
[3] Ahmad Tafsir, Op.cit., h.75
[4] Ahmad Ar Rifa’I, Takhyirah Mukhtashor, Tanpa Tahun, hal.10
[5] M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasr Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 135-136
[6] Binatang buas (subu’iyah)menurut al-Ghazali sebagai natur dasar struktur al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan, dengan cara menyerang , membunuh, merusak, menyakiti, dan membuat yang lain menderita. Sedangkan binatang jinak (bahimiyyah) merupakan natur dasar struktur al-syahwat, yaitu suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan.syahwat merupakan potensi hawa nafsu yang memiliki natur atau naluri dasar seks bebas, erotisme, narsisme, dan segala tindakan untuk pemuasan birahi. Lebih lanjut baca: Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 109-110.
[7] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya ‘ulum al-Din, terj. Ismail ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979), h. 65, 68, 70.
[8] Roestiyah NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 86.
PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. PENGERTIAN PESERTA DIDIK
            Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta  sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.
            Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.
            Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses ini peserta didik akan banyak sekali menerima bantuan yang mungkin tidak disadarinya, sebagai contoh seorang peserta didik mendapatkan buku pelajaran tertentu yang ia beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak hal yang telah dilakukan orang lain dalam proses pembuatan dan pendistribusian buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
            Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik tersebut.
a. ciri – ciri peserta didik :
    kelemahan dan ketak berdayaannya
    berkemauan keras untuk berkembang
    ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).
b. kriteria peserta didik :
Syamsul nizar mendeskripsikan  enam kriteria peserta didik, yaitu :
    peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
    peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
    peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
    peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu
    peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
              Didalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
            Sehingga agar seorang pendidik mampu membentuk peserta didik yang berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu memahami peserta didik beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah :
    kebutuhannya
    dimensi-dimensinya
    intelegensinya
    kepribadiannya.
            Allah SWT berfirman :
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ  
salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. Al – Qashas 28:26).
Tiap-tiap dari kalian adalah penggembala, dan tiap-tiap orang diantara kalian akan bertanggung jawab tentang gembalanya. (al-hadits).
B. KEBUTUHAN-KEBUTUHAN PESERTA DIDIK
            Pada sub bab sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk mendapatkan keberhasilan dalam proses pendidikan maka seorang pendidik harus mampu memahami karakteristik seorang peserta didik itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya adalah kebutuhan peserta didik.
            Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu :
    1.      Kebutuhan Fisik
            Fisik seorang didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :
    peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak
    peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
    peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.
            Pada masa perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan perubahan dan perkembangan seorang didik. Karena pada usia ini seorang peserta didik mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas) yang secara tidak langsung akan membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.
            Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu memberikan bimbingan, arahan, serta dapat menuntun peserta didik kepada arah kedewasaan yang pada akhirnya mampu menciptakan peserta didik yang dapat mempertanggungjawabkan tentang ketentuan yang telah ia tentukan dalam perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.
    2.      Kebutuhan Sosial
            Secara etimologi sosial adalah suatu lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata sosial selalu dikaitkan dengan lingkungan yang akan dilampaui oleh seorang peserta didik dalam proses pendidikan.

            Dengan demikian kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan lansung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta didik dapat memperoleh posisi dan berprestasi dalam pendidikan.
            Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan untuk memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
    3.      Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
            Kebutuhan mendapatkan status adalah suatu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat.
            Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat.
    4.      Kebutuhan Mandiri
            Ketika seorang peserta didik telah melewati masa anak dan memasuki masa keremajaan, maka seorang peserta perlu mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan karena ketika peserta telah menjadi seorang remaja, dia akan memiliki ambisi atau cita-cita yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang dipilihnya.

            Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pengalaman itulah yang menyebabkan para peserta didik harus dapat bersikap mandiri, mulai dari cara pandang mereka akan masa depan hingga bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
    5.      Kebutuhan Untuk Berprestasi
            Untuk mendapatkan kebutuhan ini maka peserta didik harus mampu mendapatkan kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka secara langsung peserta didik akan mampu mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan menuntutnun langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
    6.      Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
            Kebutuhan ini tergolong sangat penting bagi peserta didik, karena kebutuhan ini sangatlah berpengaruh akan pembentukan mental dan prestasi dari seorang peserta didik. Dalam sebuah penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua akan sangat memberikan mitivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan prestasi, dibandingkan dengan dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan sikap mental peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih sayang paling indah adalah kasih sayang dari Allah. Oleh karena itu umat muslim selalu berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan hidup yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi peserta didik.
    7.      Kebutuhan Untuk Curhat
            Ktika seorang peserta didik menghadapi masa pubertas, meka seorang peserta didik tersebut tengah mulai mendapatkan problema-probelama keremajaan. Kebutuhan untuk curhat biasanya ditujukan untuk mengurangi beban masalah yang dia hadapi. Pada hakekatnya ketika seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi atau curhat. Tindakan ini akan membuat seorang peserta didik merasa bahwa apa yang dia rasakan dapat dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki kesempatan untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk sikap tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
    8.      Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
            Pada hakekatnya seetiap manusia telah memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan, pemikiran, kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
            Karena terkadang seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan filsafat pada dirinya, maka terkadang seorang peserta didik tidak menyadari bagaimana dia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat erat kaitannya dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia untuk mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup. Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
            Agama adalah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia, sehingga tatkala seorang peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia telah memiliki rasa iman. Namun rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia peserta didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka iman tersebut akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya, siapa yang dapat melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan kepada saya. Namun iman ini dapat menurun tergantung bagaiman ia beribadah.
            Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya adalah pemenuhan kebutuhan anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya. ttƒur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& zNù=Ïèø9$# üÏ%©!$# tAÌRé& šøs9Î) `ÏB šÎi/¢ uqèd ¨,ysø9$# üÏôgtƒur 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÏÈ  
Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).
C. DIMENSI – DIMENSI PESERTA DIDIK
            Pada hakekatnya dimensi adalah salah satu media yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di masa yang akan datang (kedewasaan).
            Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat manusia dalam Islam, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, yaitu dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya ia menyatakan bahwa secara rohani manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut nampak dalam bentuk memahami sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan akal, dapat beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman tuhan, dapat berilmu, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi tepat guna dan terakhir manusia lahir keduania dengan membawa fitrah.
            Didalam Sub Bab ini penulis hanya akan membahas  7 dimensi saja. Adapun ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi akal, dimensi keberagamaannya, dimensi akhlak, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi sosial.
1. Dimensi Fisik (Jasmani)
            Fisik manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur biotik dan unsur abaiotik. Manusia sebagai peserta didik memiliki proses penciptaan yang sama dengan makhluk lain seperti hewan. Namun yang membedakan adalah manusia lebih sempurna dari hewan, hal ini dikarenakan manuasia memiliki nafsu yang dibentengi oleh akal sedangkan hewan hanya memiliki nafsu dan insthink bukanya akal.
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ  
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. Attin :4).
            Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan biotik manusia dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama, yaitu tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat elemen abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.
            Ramayulis, dalam bukunya ia mengambil pendapat Alghazali yang menyatakan bahwa daya hidup yang berupa ruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat bergantung pada konstruksi fisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut, dan sebagainya.
2. Dimensi Akal
            Ramayulis dalam bukunya ia mengambil pendapat al – Ishfahami yang membagi akal menjadi dua macam yaitu :
    Aql Al-Mathhu’ : yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah Illahi.
    Aql al-masmu : yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia.[9] Akal ini tidak dapat dilepaskan dari diri manusia, karena digunakan untuk menggerakkan akal mathhu untuk tetap berada di jalan Allah.
            Akal memiliki fungsi sebagai berikut :
    Akal adalah penahan nafsu.
    Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak jelas maupun yang tidak jelas.
    Akal adalah petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan.
    Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan.
    Adalah pandangan batin yang berpandangan tembus melebihi penglihatan mata
    Akal adalah daya ingat mengambil dari masa lampau untuk masa yang akan dihadapi.
            Akal pada diri manusia tidak dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan bantuan qolb (hati) agar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar manusia yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan bimbingan serta didikan agar tetap mampu berkembang kearah yang positif.
3. Dimensi Keberagaman
            Manusia sejak lahir kedunia telah menerima kodrat sebagai homodivinous atau homo religius yaitu makhluk yang percaya akan adanya tuhan atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam diyakini bahwa pada saat janin manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan ketika ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah manusia mempunyai fitrah sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan akan adanya tuhan sejak lahir. Dalam Ayat Al-qur’an ditegaskan :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al – A’raf : 172)
                Berkaitan dengan adanya kepercayaan akan adanya tuhan, ilsam memiliki tiga implikasi dasar pada diri manusia yg didasarkan dari adanya satu kesamaan dari jutaan perbedaan yang terdapat diri manusia, yaitu :
    impikasi yang berkaitan dengan pendidikan di masa depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi
    tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu insan kamil yang akan berhasil jika manusia menjalankan tugasnya sebagi abdullah dan kholifah
    muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi  dengan metode integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.
4. Dimensi Akhlak
            Kata akhlak dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam akhlak sangat erat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa akhlak tidak dapat lepas dari pendidikan agama.
            Akhlak menurut pengertian islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia. Maka akhlak dalam islam bersumber pada iman dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.
            Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, yaitu :
    bersifat menyeluruh atau universal
    menghargai tabiat manusia yang terdiri dari berbagai dimensi
    bersifat sederhana atau tidak berlebih-lebihan
    realistis, sesuai dengan akal dan kemampuan manusia
    kemudahan, manusia tidak diberi beban yang melebihi kemampuannya
    mengikat kepercayaan dengan amal, perkataan, perbuatan, teori, dan praktek
    tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip akhlak umum.
            Pendidikan akhlak mulai diberikan sejak manusia lahir kedunia, dengan tujuan untuk membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Namun perlu disadari bahwasannya pendidikan akhlak akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada diri peserta didik.
5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)
            Tidak jauh berbeda dengan dimensi akhlak, dimensi rohani dalah adalah dimensi yang sangat penting dan harus ada pada peserta didik. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan) harus dapat mengendalikan keadaan manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa aman dan tenteram. Penciptaan manusia tidak akan sempurna debelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya. Allah SWT berfirman :
#sŒÎ*sù ¼çmçF÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ  
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud(Al – hijr : 29).
            Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al- nafs. Al-ruh adalah daya manusia untuk mengenal dirinya sendiri, tuhan, dan mencapai ilmu pengetahuan, sehingga dapat menentukan manusia berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus penggerak bagi manusia untuk menjalankan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda dengan makhluk lainnya dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan makhluk lain yang sama-sama memiliki al-nafs  seperti halnya hewan dan tumbuhan.
            Menurut pendapat Al-Syari’ati ruh adalah bersifat dinamis, sehingga dengan sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang memiliki kebebasan untuk mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa ruh manusia dapat berkembang ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.
6. Dimensi Seni (Keindahan)
            Seni merupakan salah satu potensi rohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga senia dalam diri manusia harus lah dikembangkan. seni dalam diri manusia merupakan sarana untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menajalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
            Dalam agama islam Allah telah menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an. Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah. Hal ini karena A-lqur’an adalah ekspresi dari Allah SWT untuk memberikan kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar menunjukkan kehadiran Illahi didalam mu’jizat yang bersifat universal ini. Allah SWT berfirman :
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan (QS. An-nahl : 6)
            Keindahan selalu berkaitan dengan adanya keimanan pada diri manusia. Semakin tinggi iman yang dimiliki oleh manusia maka dia akan makin dapat merasakan keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
7. Dimensi Sosial
            Dimensi sosial bagi manusia sangat erat kaitannya dengan sebuah golongan, kelompok, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial adalah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta didik untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar manusia mengetahui bahwa tanggung jawab tidak hanya diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat pribadi namun perbuatan yang bersifat umum.
            Dalam dimensi sosial seorang peserta didik harus mampu menjalin ikatan yang dinamis antara keperntingan pribadi dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial yang kuat akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, menolong sesama serta menunjukkan cermin keimanan kepada Allah SWT.  Nabi SAW bersabda :
Demi allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.
D. TINGKAT INTELEGENSI PESERTA DIDIK
            Secara bahasa Integensi dapat diartikan dengan kecerdasan, pemahaman, kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan mempergunakan alat-alat berpikir menurut tujuan dan kecerdasannya.
            Berdasarkan pengertian diatas jelaslah bahwa intelegensi peserta didik adalah kecerdasan yang dimiliki peserta didik yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
    kecerdasan intelektual
    kecerdasan emosional
    kecerdasan spiritual
    Kecerdasan Qalbiyah.
1. Kecerdasan Intelektual
            Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan pengambangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, logika atau IQ. Ramayulis dalam bukunya menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yang lain.
            Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat erat kaitannya dengan proses berfikir atau kecerdasan fikiran yang disebut dengan aspek kognitif. Dalam aspek ini manusia dipaksa untuk dapat mempertimbangkan sesuatu, memecahkan atau memutuskan sesuatu masalah dengan menggunakan fikiran yang logis (logika). Secara umum kecerdasan intelektual dapat digolongkan sebagai berikut :
Tingkat Inteltual
Super normal
Normal dan sedikit dibawah normal
Sub Normal
    Normal atau subnormal, IQ 90 – 110
    Berdorline, IQ 70 – 90
    Debil, IQ 50 – 70
    Insibil, IQ 25 – 50
    Idiot, IQ 20 – 25”
    Genius, IQ diatas 140
    Gifted, IQ 130 – 140
    Superior, IQ 110 – 130
            Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, mengatakan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
    berkelainan sosial
    berkelainan jasmani
    berkelainan mental
    anak nakal/ delinquen
    anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat
    anak timpang
    anak berkelainan penglihatan
    anak berkelainan pendengaran
    anak berkelainan bicara
    anak kerdil
    tingkat kecerdasan rendah
    tingkat kecerdasan tinggi.
2. Kecerdasan Emosional
            Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, menjaga akan beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.[16]
            Secara umum kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri digunakan untuk berfikir atau memecahkan suatu masalah, maka kecerdasan emosional yang dihasilkan oleh otak kanan digunakan untuk memberikan motivasi, mendorong kemauan dan mengendalikan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan dalam diri peserta didik, peserta didik akan mampu memotivasi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan adanya kecerdasan ini seorang peserta didik mampu untuk menghilangkan rasa malas yang timbul pada dirinya.        
            Ari Ginanjar mengemukakan aspek-aspek yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, sebagai berikut :
    Konsistensi (istiqamah)
    Kerendahan hati (tawadhu’)
    Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
    Ketulusan (ikhlas), totalitas (kaffah)
    Keseimbangan (tawazun)
    Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[17] Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari keinginan-keinginan, yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang posistif.
            Solovery menerangkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
    respon yang cepat namun ceroboh
    mendahulukan perasaan daripada fikiran
    realitas simbolik yang seperti anak-anak
    masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
    realitas yang ditentukan oleh keadaan.
            Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja secara acak tanpa pemikiran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh pemikiran yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong peserta didik untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
            Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif, mengemukakan bahwa untuk mendapatkan kecerdasan emosional yang tinggi harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
    musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan membuang perbuatan buruk
    muraqobah, memonitor reaksi dan perilaku sehari-hari
    muhasabah, melakukan perhitungan baik dan buruk yang pernah dilakukan
    mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam keburukan yang dikerjakan dan menghukum diri sendiri.
3. Kecerdasan Spiritual
            Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan spiritula pada diri manusia berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
            Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang bersifat duniawai, maka yang hadir dalam dirinya adalah bagaimana ia dapat memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau memilih keyakinan dan kepercayaan akan suatu agama.
            Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah pemahaman tentang kehadiran manusia itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat kepada Allah SWT. Ketika manusia mendapatkan ma’rifat tersebut, maka manusia secara langsung akan dapat mengenali dirinya sendiri sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini merupakan tingkat kecerdasan yang paling tinggi.
            Kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
    Bersikap asertif, memiliki keyakinan yang tinggi dan pemahaman yang sempurna tentang ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
    Berusaha mengadakan inovasi, selalu berusaha mencari hal baru untuk kemajuan hidup dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
    Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua keunggulan manusia. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan pemikiran akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar ketika dapat merasakan sifat kemahaan tersebut.
            Dalam islam kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan peningkatan iman yang merupakan sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melakukan ibadah yang dapat membersihkan jiwa seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
            Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang berarti hati. Dalam pengertian istilah kecerdasan qalbiyah berarti kemampuan manusia untuk memahami kalbu dengan sempurna dan mengungkapkan isi hati dengan sempurna sehingga dapat menjalin hubungan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
            Kecerdasan kalbu pada diri manusia yang sempurna akan menghandirkan kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan agama adalah tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang telah mencapai kecerdasan agama maka secara langsung seorang tersebut akan memiliki kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
            Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah :
    respon yang intuitif ilabiab
    lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan
    realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
    didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan dan pensucian diri.
E. ETIKA PESERTA DIDIK
            Etika peserta didik adalah seuatu yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta didik, peserta didik memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan oleh peserta didik. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban peserta didik, yaitu :
    Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Ad-dzariat :56)
Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al-An’am :163)
    Bengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrowi.
äotÅzEzs9ur ׎öy{ y7©9 z`ÏB 4n<rW{$# ÇÍÈ  
Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang
(Adh Dhuha : 4)
    Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
    Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai aliran
    Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
    Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
    Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
    Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
    Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dinia akherat.
11.  Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
            Agar peserta didik mendapatkan keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka peserta didik harus mampu memahami etika yang harus dimilkinya, yaitu :
    Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
    Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keutamaan.
    Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
    Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
    Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah.
            Namun etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu :
    Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum ia menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
    Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah.
    Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.
    Seorang harus ikhlas dalam menuntut ilmu dengan menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,Abu dkk. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.
Supriono,Widodo. Filsafat Manusia dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta, 1996.
Vandha. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.
[1] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka Cipta,     Jakarta, 2006, Hal 40
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77
[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42
[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[7] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, Hal. 171
[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[10] Ibid., Hal. 86
[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[12] Ibid., hal 89 – 90
[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16
[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97
[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46
[16] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke 9  Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45
[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199
[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, Hal. 98
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119
[23] Ibid, Hal 120

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kartun KIsah kebaikan dan keberanian Ali Bin Abu Thalib