IBNU
MASKAWIH
PENDAHULUAN
Ranah filsafat Islam
banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang
cemerlang dan muncul tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, banyak
nama-nama besar dalam khazanah filsafat Islam. Diantaranya adalah Ibnu
Maskawaih. Ibnu Maskawaih melahirkan banyak pemikiran dalam kefilsafatanya
tetapi yang paling terkenal adalah dengan pemikirannya tentang al nafs
dan al akhlaq,
Membahas pemikiran
seorang tokoh seperti Ibnu Maskawih akan menjadi menarik dan terus menarik
sepanjang perkembangan khazanah intelektual muslim. Bukan saja karena corak
pemikiran kefilsafatannya, namun juga karena berbagai karya yang telah
dihasilkanya sepanjang sejarah perkembangan islam.
Makalah ini merupakan
hasil kajian penulis melalui beberapa literatur tentang pemikiran Ibnu Maskawih
yang dapat kita pelajari dan kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai
wawasan khazanah keilmuan kita terutama dalam bidang filsafat islam.
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Al Khozim
Ahmad ibnu Muhammad bin Ya’kub bin Maskawih, dikenal dengan Ibnu Maskawih atau
Maskawih saja. Nama itu diambil dari nama kakenya yang semula beragama Majusi
(Persi) kemudian masuk Islam. Beliau mendapat gelar Abu Ali, sehingga tidak
heran jika ada orang yang mengatakan bahwa Maskawih adalah penganut Syi’ah,
selain itu beliau juga mendapat gelar Al-Kazain, yang berarti penjaga
perpustakaan dan bendahara negara yang mengabdi kepada wazir-wazir Syi’ah pada
masa pemerintahan Bani Buwaihi (320-448 H).Maskawih Lahir di kota Ray (sekarang
Taheran) di Iran tahun 330 H/941 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar
421 H/ 16 Februari 1030 M.
Ibnu Maskawih
adalah seorang yang mempunyai prestasi yang sangat baik karena telah memperoleh
kepercayaan dari Raja Adhud Al-Baulah pada masanya, selain itu beliau juga amat
besar perhatianya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesustraan.
B. Karya Tulisnya
Ibnu Maskawih
tidak hanya dikenal seorang pemikir (filosof),
tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Dalam buku The History of Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya
tulisanya ,yaitu: Tajarib al- Umam
(sebuah sejarah tentang banjir besar), Uns
al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah), Tertib al-sa’adan (tentang akhlak dan
politik), Jawidan Khirad (koleksi
ungkapan bijak), Al-Mustafa (syair-syair
pilihan), On the Simple Drug (tentang
kedokteran), Kitab al-Ashribah
(tentang minuman), On the Composition (seni memasak), Tahzib al-akhlaq (tentang akhlak), dsb.
C. Filsafatnya
1.
Ketuhanan
Tuhan, menurut
Ibnu Maskawih, adalah zat yang tidak berjism (materi), Azali dan Pencipta, Esa
dalam segala aspek. Dia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan
tidak satupun yang setara dengan-Nya. Dia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak
bergantung kepada yang lain, sementara yang lain membutuhkan-Nya. Selain itu
Ibnu Maskawih menyatakan bahwa Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak
jelas. Dikatakan Zat yang jelas bahwa Dia adalah yang Hak (Benar), dan
dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya.
Sebagai seorang
filosof Ibnu Maskawih pemikiranya sama dengan Al-Kindi yaitu bahwa alam semesta
diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada karena penciptaan dari bahan yang
sudah ada tidak ada artinya, berbeda dengan pemikiran dari Al-Farabi yang
menyatakan bahwa alam diciptakan oleh Allah dari dari materi yang sudah ada.
2. Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih
juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran.
Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi Al-Farabi. Menurutnya
entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun.
Ia Kadim, Sempurna, dan tak berubah. Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa dan
dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-falak). Pelimpahan atau
pemancaran yang terus-menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam
ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujudan dalam
ini.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan
perbedaan emanasi antara Ibnu Maskawaih dan Al-Farabi sebagai berikut:
a. Bagi Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan
alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut
Al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang
sudah ada menjadi ada.
b. Bagi Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang
pertama ialah akal aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang
pertama adalah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang kesepuluh.
Sebagaimana Ikhwan Al-Shafa’, Ibnu Maskawaih
juga mengemukakan teori evolusi. Menurut Ibnu Maskawaih alam mineral, alam
tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan suatu rentetan yang
saling berkesinambungan.
3. Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih
juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula
memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan
keharmonisan antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Maskawaih, nabi adalah
seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh
Akal Aktif atas daya imajinasinya. Kebenaran seperti ini juga diperoleh oleh
para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filosof
memperoleh kebenaran tersebut dari bawah ke atas, yakni dari daya indrawi naik
ke daya khayal dan naik lagi ke daya berpikir yang dapat berhubungan dan
menangkap kebenaran dari Akal Aktif. Sementara itu, nabi mendapat kebenaran
diturunkan langsung dari atas ke bawah, yakni dari Akal Aktif langsung kepada
nabi sebagai rahmat Allah.
Penjelasan di atas dapat dijadikan
petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha merekonsiliasikan antara agama dan
filsafat, dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena sumber keduanya sama.
Justru itulah filosof adalah orang yang paling cepat menerima dan mempercayai
apa yang dibawa nabi karena nabi membawa ajaran yang tidak bisa ditolak akal
dan tidak pula bertentangan dengannya.
Persamaan antara nabi dan filosof, bagi
Ibnu Miskawaih adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam
tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.
4. Jiwa (an-Nafs)
Jiwa, menurut Ibnu Maskawaih adalah
jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan
yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan
pancaindera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap
keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan dan keaktivitasannya. Argumen yang
dimajukan adalah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam
waktu yang bersamaan.
Statemen yang terakhir di atas,
dimaksudkan Ibnu Maskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang
meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu Maskawaih berhasil membuktikan
adanya jiwa pada diri manusia dengan
argumen seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia
bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu
tertentu. Jiwa dapat menyerap materi yang kompleks dan non materi yang
sederhana.
Ibnu Maskawaih juga membedakan antara
pengetahuan jiwa dan pengetahuan panca indera. Secara tegas ia katakan bahwa
pancaindera tidak dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau diindra.
Sementara jiwa dapat menangkap apa yang dapat ditangkap panca indra, yakni yang
dapat diraba dan juga yang tidak dapat diraba.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas
jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan
tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa
manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang
paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
a. Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
b. Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c. Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika
ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat
derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia
dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling
besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti
ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa
lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat
kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari
tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa
jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok,
penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil,
harga diri, berani, pemurah, benar, dan cintaTentang balasan di akhirat,
sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Maskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan
menerima balasan di akhirat. Karena menurutnya, kenikmatan jasmaniah bukanlah
kenikmatan yang sebenarnya.
5. Akhlak
Akhlak, menurut konsep Ibnu Maskawaih
adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat
tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi
dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide di atas, secara tidak
langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan
bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Maskawaih, akhlak yang
tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan
latihan-latihan.
Ibnu Maskawaih juga menjelaskan
sifat-sifat yang utama. Sifat-sifat ini menurutnya, erat kaitannya dengan jiwa.
Jiwa memiliki tiga daya: daya berpikir, daya marah, dan daya keinginan. Sifat
hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Berani
adalah sifat utama bagi jiwa marah yang timbul dari yang timbul dari sifat hilm
(mawas diri). Sementara murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan yang lahir
dari ‘iffah (memelihara kehormatan diri). Dengan demikian, ada tiga sifat utama
yaitu, hikmah, berani, dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, muncul
sifat utama yang keempat, yakni adil. Adapun lawan dari keempat sifat utama ini
adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
Dalam buku Tahzib al-Akhlaq Ibnu
Miskawaih juga memaparkan kebahagiaan. Menurutnya, kebahagiaan meliputi jasmani
dan rohani. Pendapatnya ini merupakan gabungan antara pendapat Plato dan
Aristoteles. Menurut Plato, kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan
rohani. Hal ini baru bisa didapatkan manusia apabila rohaninya telah berpisah
dengan jasadnya. Dengan redaksi lain, selama rohaninya masih terikat dengan
jasadnya, yang selalu menghalanginya mencari hikmah, kebahagiaan dimaksud tidak
akan tercapai. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan dapat
dicapai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagiaan tersebut berbeda di
antara manusia, seperti orang miskin kebahagiaannya adalah kekayaan, orang
sakit pada kesehatan, dan lainya.
Uraian di atas dapat dijadikan bukti
bahwa pemikiran Ibnu Maskawaih dasar pokoknya adalah ajaran islam. Sementara
gabungan pendapat Plato dan Aristoteles merupakan pemikiran pelengkap yang ia
terima karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Maskawaih
menolak segala bentuk kehidupan al-mutawahhid (pertapaan). Hal ini disebabkan
kehidupan seperti itu tidak cocok dengan hukum agama, yang pada dasarnya
merupakan mazhab akhlak yang mendorong manusia untuk mencintai sesamanya.
Kewajiban yang dibebankan agama adalah latihan akhlak bagi jiwa manusia yang
bertujuan untuk syiar keagamaan, seperti shalat jamaah, haji, dan lain-lainnya,
yang tidak lain adalah untuk menanamkan sifat keutamaan pada jiwa manusia. Pada
sisi lain, kehidupan pertapaan dapat dinilai mengandung kadar kezaliman karena
kebutuhan hidupnya dibebankan pada orang lain, padahal dalam kehidupan ini
manusia harus saling membantu dalam segala aspek untuk mencapai kemajuan, baik
yang bersifat sosial maupun kebudayaan.
Demikianlah pembahasan tentang pemikiran
filosof Muslim Ibnu Maskawaih. Kendatipun ia terpengaruh dengan pemikiran
Yunani, namun ajaran Islam memiliki pengaruh yang paling dominan dalam
filsafatnya. Filsafat akhlak Ibnu Miskawaih merupakan falsafatnya yang paling
utama dan terpenting, karena itu wajar kiranya namanya diidentikkan dengan
filsafatnya ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagai
penjelasan diatas jelaslah bahwa Ibnu Maskawih adalah seorang yang mempunyai
prestasi yang sangat baik karena telah memperoleh banyak penghargaan pada
masanya. Beliau juga amat besar perhatianya kepada perkembangan ilmu
pengetahuan dan kesustraan dan terutama dalam bidang kefilsfatan islam.
Selain itu Ibnu
Maskawih adalah seorang pemikir atau filosof muslim yang luar biasa yang telah
melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran yang mewarnai khazanah ilmu pengetauan
terutama dalam kefilsafatan islamnya.
Pemikiran-pemikiran
dari Ibnu Maskawih tersebut semoga bisa kita jadikan sebuah pngetahuan dan
pengetahuan kita terutama dalam hal pemikiran dan filsfat tentang islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abudin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Zar, Sirajudin. 2004. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya).
Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Komentar
Posting Komentar